CERITA HOT-Kenalan Dengan Fei Cantik Sore hari di tahun 1997 bulan Januari sebelum aku kuliah ke Perth, hujan rintik-rintik menemani perjalananku ke rumahku sepulang dari tempat les bahasa Inggris di LIA, saat itulah kulihat gadis tinggi semampai berjalan di sampingku.
Wow… tiba-tiba hatiku berdetak kuat, gadis ini cantik sekali dengan tinggi semampai, memakai baju hitam ketat dengan celana putih kordoroi, serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Rambut sepundak kemerahan dengan wajah lonjong manis sekali, dibubuhi mata sipit seperti artis China yang sering kulihat di TV.
“Aku harus kenalan!” berontak kata hatiku.
Jalannya cepat tanpa melihat ke kanan ke kiri. Wah… berani tidak ya, hatiku bertanya-tanya. Okelah PD saja.
“Hai”, sapaku dengan suara bergetar.
“Baru pulang kuliah ya?” sambil kulihat buku yang dibawanya.
“Iyaa…” responnya. Wah… gayung bersambut nih, langsung saja kenalan.
Sejak saat itulah aku dekat dengan Fei. Gadis yang ternyata satu kompleks perumahan denganku di daerah Jakarta Pusat. Ternyata ia baru di kompleksku dan tinggal bersama pamannya. Pamannya adalah penjual barang elektronik di daerah Glodok. Sebelum ke Jakarta, ia tinggal bersama orang tuanya di Medan, lulus SMA ia melanjutkan pendidikan di FE salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta Barat.
Singkat cerita kami pun pacaran. Terus terang, aku orangnya tidak kuat melihat Fei. Yang paling aku sukai dari bagian tubuhnya, adalah kakinya yang panjang (1 meter 5 senti) dan yang yang paling membuatku sukai lagi adalah betisnya yang putih mulus dengan bentuk yang pas, tak terlalu gemuk dan tak terlalu kecil, seksi sekali. Fei tinggal bersama pamannya dan ke-3 sepupunya yang semuanya perempuan yang masih bersekolah antara SD – SMP, beserta seorang pembantu.
Pengalaman seks-ku dengannya berjalan secara bertahap. Setelah beberapa lama pacaran aku cuma bisa mencium pipinya.
Seminggu kemudian bibirnya, lama setelah itu ketika kami berdua nonton di bioskop Lippo Karawaci aku ingat filmnya Star Wars, ia memakai baju hem sutra warna krem dengan rok selutut warna coklat, yang menampakkan bentuk kakinya yang sempurna itu. Baju sutranya begitu lembut hingga mengikuti lekukan dadanya terkadang dari sela-sela antar kancing terlihat belahan dada yang putih mulus, walaupun tidak terlalu besar membuat pikiranku melayang kemana-mana hingga di dalam lampu mulai padam kulihat penontonnya hanya 5 orang, itu pun berada di depan semua.
Melihat wajahnya di kegelapan bioskop, aku tidak bisa konsentrasi menonton film. 5 menit… 10 menit… 15 menit… pertama kuelus tangannya, kucium-cium tangannya yang lembut itu. Akhirnya kusentuh pipinya dan mulai kucium bibirnya. Mmh… mengingat buah dadanya tadi birahiku bergejolak, tanganku mulai mengelus-elus pipinya kemudian turun. Kuelus-elus buah dadanya yang membuatku tak bisa tenang.
Sementara bibirnya kulumat dalam-dalam, kurasakan dengan mata terpejam kenikmatan bibirnya itu, mulai lidah kami berpaut saat itu juga. Tiga kancing paling atas bajunya kubuka, tanganku pun mulai masuk ke dalam BH-nya. Wow… kenyal dan kencang dengan puting susunya yang kenyal. Aku mulai memperdalam ciumanku, lidahku mulai kumainkan seiring dengan permainan jari-jariku di puting susunya. Ia mulai mendesah dengan nafas tak teratur,
“Mmh… mmhh… mmhh…” suara itu membuatku semakin bernafsu. Kuvariasikan gerakan tanganku dengan meremas buah dadanya. “Mmmhh… mhhh… ssshh….” suara itu membuat batang kemaluanku semakin berdiri tegang.
Saking tegangnya sehingga membuat batang kemaluanku sakit. Sambil kuperbaiki posisi dudukku, kusorongkan penutup BH-nya ke depan sehingga payudaranya menonjol. Kuarahkan mulutku ke puting buah dada Fei, kuhisap-hisap putingnya sambil sesekali kumainkan lidahku.
“Mmhhh… mhhh…” Fei merasa geli-geli enak. Kuangkat BH-nya ke atas agar tanganku terbebas dari memegangi BH-nya. Buah dada yang telah mengencang itu mancung ke depan menantang untuk kuhisap.
Sementara aku mulai menghisap buah dadanya, tanganku mulai memegang pahanya yang dingin karena udara AC bioskop tetapi makin ke dalam semakin terasa hangat. Dengan agak susah tanganku berusaha merayap ke sumber kehangatan itu. Wah… masih sulit tanganku menjangkaunya, tampaknya Fei tahu akan hal itu. Dia mulai membuka pahanya dan tanganku pun mulai dapat merayap ke atas. Kusentuh selangkangannya yang berbalut CD.
“Hmmm hangat…” aku ingin merasakan dalamnya.
Dari tepi CD-nya jariku masuk ke liang kemaluannya yang ditumbuhi rambut itu terasa hangat dan lembut dengan lipatan-lipatan dan gumpalan-gumpalan. Tanganku mulai beraksi di tengah antara kedua lipatan itu, naik turun… naik turun… Fei mulai menggelinjang. Tidak berapa lama ia melepaskan tautan bibirnya di bibirku. Mulutnya terbuka,
“Aaahh… ahh… terus Rie… ahhh… ahh… ahhh… teruus… aah…” pada saat itulah kurasakan sesuatu terjadi pada tubuhku.
Aku merasa batang kemaluanku menegang sekali. Nafsuku meletup-letup, otot-ototku mengejang dan…
“Aahhk… aahhkk..” dan,
“Crottt… croottt…” kemaluanku pun muntah di dalam celana. Uhh… enak sekali rasanya, segar.
Sementara tanganku terus bergerak. “Aaahhh… teruusss…” desah Fei sambil mulai menggerak-gerakkan pinggulnya,
“Aaahkk… terus…” sampai akhirnya badannya menegang dan ia menahan nafasnya beberapa saat,
“Mhhh… ahhh…” dilepaskan nafasnya, kemudian ia menjauhkan tanganku dari liang kemaluannya.
“Kenapa…?” tanyaku berbisik.
“Enaak lhooo… tapi badan jadi lemes nih…” bisiknya.
“Ya udah… kasian filmnya tuh tidak ditonton…” kataku.
Kurasakan bagian celanaku yang basah terkena air maniku. Untung cuma bagian pinggang, jadi bisa kututup dengan baju, aman.
Malamnya ia menelepon, menceritakan bagaimana rasanya dari pengalaman yang baru kami alami berdua di bioskop tadi. Sebelum kami menyudahi telepon, ia berkata, “Rie… besok kalau tidak ada rencana… datang ke rumahku dong… selama aku libur, si Siti (pembantunya) mau pulang kampung… bantuin aku mengurusi rumah yaa!” “Oke!” jawabku singkat sambil membayangkan skenario untuk besok.
Esoknya aku pun datang jam 10-an. Setelah paman Fei pergi, sebab paman Fei tidak mau Fei pacaran denganku. Dia mau Fei pacaran sama laki-laki keturunan Tionghoa seperti semua keluarganya. Jadi ceritanya aku dan Fei backstreet-lah. Ketika aku datang, Fei masih memakai daster pink, tingginya di atas lutut.
Ups, kemaluanku naik tingggi sekali, tampak sebagian pahanya yang mulus sekali, kakinya yang panjang putih bersih (tidak ada noda totol-totol sama sekali) dan betisnya yang aduhai. Kuperhatikan terus Fei dari atas ke bawah. Hei… tepat di bagian dadanya ada yang menonjol sebesar kacang. Ups… jangan-jangan dia tidak memakai bra nih. Aduh kemaluanku makin membludak ingin keluar dari sarangnya.
“Arie… kamu sudah sarapan?” tanyanya.
“Udah.. udah…” jawabku dengan suara bergetar yang kupaksakan keluar.
“Hei… kenapa.. kamu sakit?” tanyanya lagi.
“Enggak kok… biasa, suara orang bangun pagi”, kataku.
“Kamu bantuin aku nyapu ya… entar habis kamu nyapu… aku ngepel…” katanya. “Oke”, kataku.
Huuh… menyapu, memikirkan menyapu kemaluanku jadi ciut lagi. Aku pun mulai menyapu, sedangkan Fei mencuci piring bekas sarapan. Selesai menyapu, aku membantu dia mengangkat ember untuk mengepel ke ruang depan. Dengan menggunakan gagang pel ia mulai mengepel lantai ruang depan, sementara aku memperhatikan kaki-kaki yang jenjang itu bagaikan menari-nari bersama tongkat pel.
Kuperhatikan betis yang selama ini kupuja-puja itu, putih… mulus, ingin aku menciumnya habis-habisan. Tiba-tiba klotak! Entah karena apa, tongkat pel itu terjatuh ke lantai.
“Aduhh…” Fei terkejut.
“Kenapa?” tanyaku. Fei hanya tersenyum dan kemudian dengan membelakangiku, ia menungging mengambil tongkat pel itu.
Walah, daster yang tingginya sepaha itu bagian belakangnya terangkat ke atas. Tampak seluruh pahanya yang putih halus mulus itu dan yang membuat celanaku tiba-tiba sesak tampak selangkangan yang dibalut CD warna biru langit itu.
Langsung aku meloncat ke arahnya. Kuelus dan kuciumi pahanya yang halus mulus itu. Begitu lembut, mmh. Fei masih dengan posisi menungging, kusibak dasternya sehingga tampak seluruh celana dalamnya, langsung dengan nafas memburu, kutarik celana itu ke bawah dan kujilati dan kucium pantat yang putih montok menantang itu di selangkangannya.
Tampak bibir vertikal liang kemaluan Fei yang hitam tanpa bulu rambut? (padahal tadi malam masih ada loh bulunya). Kuusap dengan lembut bibir yang menggoda itu, lembut dan penuh kehangatan. Bibir tersebut bergerak-gerak seolah-olah berkata,
“Ayo… cium aku… isep aku… jilat aku…” Langsung kuarahkan bibirku ke kemaluannya.
Aroma kemaluannya yang khas menggodaku untuk mencium kemaluan Fei yang sejak tadi menungguku. Kumainkan lidahku di tengah-tengah bibir kemaluannya.
“Ssrrpp… sssrrp… sssrrppp…” kurasakan badan Fei bergetar keenakan. kuremas pahanya yang montok itu sambil terus kumainkan lidahku, “Aahhh… ahhh…” erang Fei.
Tiba-tiba Fei berdiri, diciumnya bibirku yang basah dengan ganas seperti orang yang sudah berbulan-bulan tidak dapat jatah.
“Mmhhh… Mmmhh…” dimain-mainkannya lidahnya di dalam mulutku, enak sekali.
Kemudian dengan sigap tangannya mulai melepaskan celanaku dan menyelipkan tangannya di CD-ku,
“Ihhh… gede amat…!” kejutnya sambil digosok-gosokkan tangannya di batang kemaluanku yang sudah sejak tadi membengkak.
“Uuhh… enak…” diturunkannya CD-ku dan dikocoknya terus batang kemaluanku.
Saking enaknya sampai seluruh otot tubuhku mengejang,
“Teruss… terusss”, kulepaskan tautan bibirnya,
“Aahh… ahhh… Feiii.. terus Feii…” kataku sudah tidak tahan lagi.
“Aahhh… aah…” dan tak lama kemudian, “Croot… croot… croot…” akhirnya kemaluanku mengeluarkan air mani, diarahkan kemaluanku menjauh dari tubuhnya.
Air maniku berceceran di lantai.
“Aaah… enaknya.”
Kemudian kuangkat dasternya, tampaklah tubuhnya yang sudah telanjang bulat. Ampun deh bodinya, sudah putih, mulus, bagus, langsing, tinggi, pokoknya seperti wanita model. Batang kemaluanku pun berdiri lagi sedikit demi sedikit. Aku pun melepas segala yang melekat di tubuhku. Tubuhnya kujatuhkan ke sofa kemudian kaki Fei kukangkangi dan aku menimpa tubuh yang empuk itu.
“Gimana memekku? Tadi pagi aku cukur lho… khusus buat kamu…” kata Fei.
“Huuiii.. Fei gadisku.. I love you…” mulai lagi kucium bibirnya dengan gemas.
Mmmhh, tangan Fei menjalar ke bawah meremas-remas batang kejantananku. Kemudian menempelkannya ke bibir kemaluannya yang telah basah itu. Badanku pun kuangkat sedikit dengan siku kiriku sementara tangan kananku mulai mengobok-obok buah dadanya, begitu lembut dan kenyal. Kumainkan putingnya sekali-sekali. Mmmhh… sementara itu lidah kami pun tak bisa diam merasakan keenakan ini, saling menjilati.
Kemudian kuarahkan kepalaku ke buah dadanya. Kuciumi buah dadanya, kujilati, kumainkan putingnya dengan lidahku dan kusedot-sedot dengan sesekali kugigit-gigit kecil dengan gemas. Sementara jari telunjukku dan tengah mulai beraksi di liang kemaluannya. Kuusap-usap bibir kemaluannya yang telah licin dengan cairan kewanitaannya.
Tak lama, segera aku bangun dan aku tidur di lantai. Kusuruh ia menindihku dengan kepalanya mengarah ke batang kemaluanku dan dengan kaki mengangkang, dan mengarahkan lubang kemaluannya yang telah memerah ke wajahku.
“Hmmmm… srruupp… sruuupp…” aku mulai menjilat klitorisnya.
Kujulurkan lidahku memainkan daerah sekitar klitorisnya, kujilat klitorisnya ke atas, ke bawah, ke atas, ke bawah. Fei menggelinjang keenakan, pantatnya pun bergerak mencari spot-spot yang enak. Ia ternyata jago menghisap batang kemaluanku.
Sambil menghisap, sesekali dimain-mainkan lidahnya seperti anak kecil memainkan es krim. Kuvariasikan jilatan pada klitorisnya dengan sedotan. Kemudian bibir-bibir kiri dan kanannya yang hitam itu, kutarik-tarik daging lebih yang nikmat itu dengan sedotan bibirku.
“Sruuup… sruppp…” Pinggul Fei bergerak-gerak terus, kadang ke kiri kadang ke kanan, ke atas, ke bawah begitu seterusnya sampai akhirnya ia tekan kemaluannya di mulutku.
Hidungku ikut menempel di kemaluannya dan membuatku susah bernafas, dengan masih digoyang-goyangkan sambil mengerang panjang.
“Aahh… aahh… aaa… aaahh…” tiba-tiba badannya berbalik dan ia menciumku bertubi-tubi,
“Ahhh… enaaak Rie… rasanya seperti melayang…” sambil terus menciumi mukaku.
“Enak sih enak.. aku masih gantung nih..” Langsung kuangkat tubuhnya ke bibir sofa dan kukangkangkan kakinya.
Kuusap-usap kemaluannya yang masih memerah dan bengkak itu dengan tanganku. Kucari-cari di mana lubangnya.
Setelah beberapa saat kutekan-tekan, akhirnya kutemukan lubangnya. Pertama kucoba memasukkan jari kelingkingku, eh… masuk. Kucoba jari manisku, masuk juga. Kukeluarkan jari manisku yang basah, kucoba masukkan batang kemaluan,
“Aaahhh… pelan-pelan… sakit nih…” kata Fei meringis.
Kucoba dorong dengan bantuan tanganku, tapi susah sekali masuknya sampai kemaluanku meleot-leot. Akhirnya kuminta tangannya memegangi batang kemaluanku dan tangan satunya melebarkan bibir kemaluan. Aku menahan pahanya agar tubuhnya tidak mundur-mundur. Mulai kudorong batang kemaluanku masuk ke lubangnya, Fei masih meringis tapi aku tidak peduli. Aku harus menembak, kutahan kuat-kuat tubuh Fei dan kusorongkan tubuhku.
“Sreep… sreeep… bleesss…” batang kemaluanku masuk tak bersisa.
“Kamu baik-baik aja?” tanyaku. “Agak-agak pedih sih…” ringisnya.
Aku mulai beraksi. Segera kumaju-mundurkan batang kemaluanku di lubang kewanitaannya.
“Aahh… rasanyaaa… tidak terbayangkan… it’s my first time Man!” pikirku. Fei pun beraksi dengan menggoyang-goyangkan pantatnya, hingga bibir-bibir kemaluannya seperti mengulum-ngulum batang kemaluanku.
Kuhujam-hujamkan terus batang kemaluanku. Kulihat ekspresi muka Fei yang belum pernah kulihat sebelumnya dengan mata merem-melek. Bibir seksinya menganga mengeluarkan desahan-desahan yang semakin membuatku bergairah dan mempercepat gerakan batang kemaluanku maju mundur.
“Aahh… ahghh…” aku pun ikut merem-melek.
Kupindahkan tanganku dari pahanya dan mulai meremas-remas payudaranya yang mengeras. Goyangan-goyangan pinggul kami berkejar-kejaran dengan deru degup jantungku. Suara-suara erangan nikmat bercampur dengan suara gesekan batang kemaluanku dan liang kemaluan Fei yang telah banjir, mengaung ke seisi rumah yang sepi itu. Sampai akhirnya,
“Arriee… aakuuu… ngggaak kuu… kuuuat lagii… aaahhh.. ahhh… aaahh… aaaghhh…” Sambil menahan nafasnya, Badan Fei mengejang dengan dada menukik ke atas dan tangan meremas sofa kulit itu.
“Creeet… cret… creeet…” terasa keluar cairan dari dalam lubang kemaluannya.
Segera kugenjot dengan hujaman-hujaman cepat ke lubang kemaluannya.
Aku merasakan batang kemaluanku akan mengeluarkan mani. Segera kukeluarkan kemaluanku dan disambut dengan kocokan tangan Fei.
“Aah… aaahhh… aahhh..” aku mengerang keenakan dan..,
“Crooot.. croot.. croot..” air mani keluar dari kemaluanku muncrat kemana-mana mengenai sofa dan lantai sampai tak bersisa lagi.
“Aaahh… enaknya hidup ini”. Kurebahkan tubuhku ke sofa, kucium bibir Fei dengan lembut,
“Thank’s Fei… I love you so much”, sambil terus menciumi bibirnya.
Segera setelah itu kubersihkan tubuhku di kamar mandi dan aku melanjutkan pekerjaan Fei yang terpotong tadi… mengepel! Fei lelah kecapaian dengan tubuh ditutupi daster, ia beristirahat di sofa, wajahnya walaupun letih, tapi menampakkan rasa puas yang luar biasa.
Semenjak itu, setiap hari (kecuali minggu), kami melakukan seks. Setelah pembantu Fei pulang, beberapa hari sekali kami melakukannya di rumahku (kalau sedang tidak ada orang) dan di Ancol. Agar air maniku tak tumpah ke dalam mobil, aku selalu memakai kondom. Masa-masa bahagia kami berakhir, setelah terdengar isu akan terjadinya kerusuhan pada bulan Mei.
Fei beserta keluarga pamannya, pergi dari Indonesia pulang ke negeri China, rumahnya di Jakarta dijual. Semenjak itu aku tak pernah berjumpa lagi dengannya. Aku sangat kehilangan Fei, Fei lah cewek yang paling kusayang dan kucintai yang telah memberikan kepuasan lahir batin kepadaku
Wow… tiba-tiba hatiku berdetak kuat, gadis ini cantik sekali dengan tinggi semampai, memakai baju hitam ketat dengan celana putih kordoroi, serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Rambut sepundak kemerahan dengan wajah lonjong manis sekali, dibubuhi mata sipit seperti artis China yang sering kulihat di TV.
“Aku harus kenalan!” berontak kata hatiku.
Jalannya cepat tanpa melihat ke kanan ke kiri. Wah… berani tidak ya, hatiku bertanya-tanya. Okelah PD saja.
“Hai”, sapaku dengan suara bergetar.
“Baru pulang kuliah ya?” sambil kulihat buku yang dibawanya.
“Iyaa…” responnya. Wah… gayung bersambut nih, langsung saja kenalan.
Sejak saat itulah aku dekat dengan Fei. Gadis yang ternyata satu kompleks perumahan denganku di daerah Jakarta Pusat. Ternyata ia baru di kompleksku dan tinggal bersama pamannya. Pamannya adalah penjual barang elektronik di daerah Glodok. Sebelum ke Jakarta, ia tinggal bersama orang tuanya di Medan, lulus SMA ia melanjutkan pendidikan di FE salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta Barat.
Singkat cerita kami pun pacaran. Terus terang, aku orangnya tidak kuat melihat Fei. Yang paling aku sukai dari bagian tubuhnya, adalah kakinya yang panjang (1 meter 5 senti) dan yang yang paling membuatku sukai lagi adalah betisnya yang putih mulus dengan bentuk yang pas, tak terlalu gemuk dan tak terlalu kecil, seksi sekali. Fei tinggal bersama pamannya dan ke-3 sepupunya yang semuanya perempuan yang masih bersekolah antara SD – SMP, beserta seorang pembantu.
Pengalaman seks-ku dengannya berjalan secara bertahap. Setelah beberapa lama pacaran aku cuma bisa mencium pipinya.
Seminggu kemudian bibirnya, lama setelah itu ketika kami berdua nonton di bioskop Lippo Karawaci aku ingat filmnya Star Wars, ia memakai baju hem sutra warna krem dengan rok selutut warna coklat, yang menampakkan bentuk kakinya yang sempurna itu. Baju sutranya begitu lembut hingga mengikuti lekukan dadanya terkadang dari sela-sela antar kancing terlihat belahan dada yang putih mulus, walaupun tidak terlalu besar membuat pikiranku melayang kemana-mana hingga di dalam lampu mulai padam kulihat penontonnya hanya 5 orang, itu pun berada di depan semua.
Melihat wajahnya di kegelapan bioskop, aku tidak bisa konsentrasi menonton film. 5 menit… 10 menit… 15 menit… pertama kuelus tangannya, kucium-cium tangannya yang lembut itu. Akhirnya kusentuh pipinya dan mulai kucium bibirnya. Mmh… mengingat buah dadanya tadi birahiku bergejolak, tanganku mulai mengelus-elus pipinya kemudian turun. Kuelus-elus buah dadanya yang membuatku tak bisa tenang.
Sementara bibirnya kulumat dalam-dalam, kurasakan dengan mata terpejam kenikmatan bibirnya itu, mulai lidah kami berpaut saat itu juga. Tiga kancing paling atas bajunya kubuka, tanganku pun mulai masuk ke dalam BH-nya. Wow… kenyal dan kencang dengan puting susunya yang kenyal. Aku mulai memperdalam ciumanku, lidahku mulai kumainkan seiring dengan permainan jari-jariku di puting susunya. Ia mulai mendesah dengan nafas tak teratur,
“Mmh… mmhh… mmhh…” suara itu membuatku semakin bernafsu. Kuvariasikan gerakan tanganku dengan meremas buah dadanya. “Mmmhh… mhhh… ssshh….” suara itu membuat batang kemaluanku semakin berdiri tegang.
Saking tegangnya sehingga membuat batang kemaluanku sakit. Sambil kuperbaiki posisi dudukku, kusorongkan penutup BH-nya ke depan sehingga payudaranya menonjol. Kuarahkan mulutku ke puting buah dada Fei, kuhisap-hisap putingnya sambil sesekali kumainkan lidahku.
“Mmhhh… mhhh…” Fei merasa geli-geli enak. Kuangkat BH-nya ke atas agar tanganku terbebas dari memegangi BH-nya. Buah dada yang telah mengencang itu mancung ke depan menantang untuk kuhisap.
Sementara aku mulai menghisap buah dadanya, tanganku mulai memegang pahanya yang dingin karena udara AC bioskop tetapi makin ke dalam semakin terasa hangat. Dengan agak susah tanganku berusaha merayap ke sumber kehangatan itu. Wah… masih sulit tanganku menjangkaunya, tampaknya Fei tahu akan hal itu. Dia mulai membuka pahanya dan tanganku pun mulai dapat merayap ke atas. Kusentuh selangkangannya yang berbalut CD.
“Hmmm hangat…” aku ingin merasakan dalamnya.
Dari tepi CD-nya jariku masuk ke liang kemaluannya yang ditumbuhi rambut itu terasa hangat dan lembut dengan lipatan-lipatan dan gumpalan-gumpalan. Tanganku mulai beraksi di tengah antara kedua lipatan itu, naik turun… naik turun… Fei mulai menggelinjang. Tidak berapa lama ia melepaskan tautan bibirnya di bibirku. Mulutnya terbuka,
“Aaahh… ahh… terus Rie… ahhh… ahh… ahhh… teruus… aah…” pada saat itulah kurasakan sesuatu terjadi pada tubuhku.
Aku merasa batang kemaluanku menegang sekali. Nafsuku meletup-letup, otot-ototku mengejang dan…
“Aahhk… aahhkk..” dan,
“Crottt… croottt…” kemaluanku pun muntah di dalam celana. Uhh… enak sekali rasanya, segar.
Sementara tanganku terus bergerak. “Aaahhh… teruusss…” desah Fei sambil mulai menggerak-gerakkan pinggulnya,
“Aaahkk… terus…” sampai akhirnya badannya menegang dan ia menahan nafasnya beberapa saat,
“Mhhh… ahhh…” dilepaskan nafasnya, kemudian ia menjauhkan tanganku dari liang kemaluannya.
“Kenapa…?” tanyaku berbisik.
“Enaak lhooo… tapi badan jadi lemes nih…” bisiknya.
“Ya udah… kasian filmnya tuh tidak ditonton…” kataku.
Kurasakan bagian celanaku yang basah terkena air maniku. Untung cuma bagian pinggang, jadi bisa kututup dengan baju, aman.
Malamnya ia menelepon, menceritakan bagaimana rasanya dari pengalaman yang baru kami alami berdua di bioskop tadi. Sebelum kami menyudahi telepon, ia berkata, “Rie… besok kalau tidak ada rencana… datang ke rumahku dong… selama aku libur, si Siti (pembantunya) mau pulang kampung… bantuin aku mengurusi rumah yaa!” “Oke!” jawabku singkat sambil membayangkan skenario untuk besok.
Esoknya aku pun datang jam 10-an. Setelah paman Fei pergi, sebab paman Fei tidak mau Fei pacaran denganku. Dia mau Fei pacaran sama laki-laki keturunan Tionghoa seperti semua keluarganya. Jadi ceritanya aku dan Fei backstreet-lah. Ketika aku datang, Fei masih memakai daster pink, tingginya di atas lutut.
Ups, kemaluanku naik tingggi sekali, tampak sebagian pahanya yang mulus sekali, kakinya yang panjang putih bersih (tidak ada noda totol-totol sama sekali) dan betisnya yang aduhai. Kuperhatikan terus Fei dari atas ke bawah. Hei… tepat di bagian dadanya ada yang menonjol sebesar kacang. Ups… jangan-jangan dia tidak memakai bra nih. Aduh kemaluanku makin membludak ingin keluar dari sarangnya.
“Arie… kamu sudah sarapan?” tanyanya.
“Udah.. udah…” jawabku dengan suara bergetar yang kupaksakan keluar.
“Hei… kenapa.. kamu sakit?” tanyanya lagi.
“Enggak kok… biasa, suara orang bangun pagi”, kataku.
“Kamu bantuin aku nyapu ya… entar habis kamu nyapu… aku ngepel…” katanya. “Oke”, kataku.
Huuh… menyapu, memikirkan menyapu kemaluanku jadi ciut lagi. Aku pun mulai menyapu, sedangkan Fei mencuci piring bekas sarapan. Selesai menyapu, aku membantu dia mengangkat ember untuk mengepel ke ruang depan. Dengan menggunakan gagang pel ia mulai mengepel lantai ruang depan, sementara aku memperhatikan kaki-kaki yang jenjang itu bagaikan menari-nari bersama tongkat pel.
Kuperhatikan betis yang selama ini kupuja-puja itu, putih… mulus, ingin aku menciumnya habis-habisan. Tiba-tiba klotak! Entah karena apa, tongkat pel itu terjatuh ke lantai.
“Aduhh…” Fei terkejut.
“Kenapa?” tanyaku. Fei hanya tersenyum dan kemudian dengan membelakangiku, ia menungging mengambil tongkat pel itu.
Walah, daster yang tingginya sepaha itu bagian belakangnya terangkat ke atas. Tampak seluruh pahanya yang putih halus mulus itu dan yang membuat celanaku tiba-tiba sesak tampak selangkangan yang dibalut CD warna biru langit itu.
Langsung aku meloncat ke arahnya. Kuelus dan kuciumi pahanya yang halus mulus itu. Begitu lembut, mmh. Fei masih dengan posisi menungging, kusibak dasternya sehingga tampak seluruh celana dalamnya, langsung dengan nafas memburu, kutarik celana itu ke bawah dan kujilati dan kucium pantat yang putih montok menantang itu di selangkangannya.
Tampak bibir vertikal liang kemaluan Fei yang hitam tanpa bulu rambut? (padahal tadi malam masih ada loh bulunya). Kuusap dengan lembut bibir yang menggoda itu, lembut dan penuh kehangatan. Bibir tersebut bergerak-gerak seolah-olah berkata,
“Ayo… cium aku… isep aku… jilat aku…” Langsung kuarahkan bibirku ke kemaluannya.
Aroma kemaluannya yang khas menggodaku untuk mencium kemaluan Fei yang sejak tadi menungguku. Kumainkan lidahku di tengah-tengah bibir kemaluannya.
“Ssrrpp… sssrrp… sssrrppp…” kurasakan badan Fei bergetar keenakan. kuremas pahanya yang montok itu sambil terus kumainkan lidahku, “Aahhh… ahhh…” erang Fei.
Tiba-tiba Fei berdiri, diciumnya bibirku yang basah dengan ganas seperti orang yang sudah berbulan-bulan tidak dapat jatah.
“Mmhhh… Mmmhh…” dimain-mainkannya lidahnya di dalam mulutku, enak sekali.
Kemudian dengan sigap tangannya mulai melepaskan celanaku dan menyelipkan tangannya di CD-ku,
“Ihhh… gede amat…!” kejutnya sambil digosok-gosokkan tangannya di batang kemaluanku yang sudah sejak tadi membengkak.
“Uuhh… enak…” diturunkannya CD-ku dan dikocoknya terus batang kemaluanku.
Saking enaknya sampai seluruh otot tubuhku mengejang,
“Teruss… terusss”, kulepaskan tautan bibirnya,
“Aahh… ahhh… Feiii.. terus Feii…” kataku sudah tidak tahan lagi.
“Aahhh… aah…” dan tak lama kemudian, “Croot… croot… croot…” akhirnya kemaluanku mengeluarkan air mani, diarahkan kemaluanku menjauh dari tubuhnya.
Air maniku berceceran di lantai.
“Aaah… enaknya.”
Kemudian kuangkat dasternya, tampaklah tubuhnya yang sudah telanjang bulat. Ampun deh bodinya, sudah putih, mulus, bagus, langsing, tinggi, pokoknya seperti wanita model. Batang kemaluanku pun berdiri lagi sedikit demi sedikit. Aku pun melepas segala yang melekat di tubuhku. Tubuhnya kujatuhkan ke sofa kemudian kaki Fei kukangkangi dan aku menimpa tubuh yang empuk itu.
“Gimana memekku? Tadi pagi aku cukur lho… khusus buat kamu…” kata Fei.
“Huuiii.. Fei gadisku.. I love you…” mulai lagi kucium bibirnya dengan gemas.
Mmmhh, tangan Fei menjalar ke bawah meremas-remas batang kejantananku. Kemudian menempelkannya ke bibir kemaluannya yang telah basah itu. Badanku pun kuangkat sedikit dengan siku kiriku sementara tangan kananku mulai mengobok-obok buah dadanya, begitu lembut dan kenyal. Kumainkan putingnya sekali-sekali. Mmmhh… sementara itu lidah kami pun tak bisa diam merasakan keenakan ini, saling menjilati.
Kemudian kuarahkan kepalaku ke buah dadanya. Kuciumi buah dadanya, kujilati, kumainkan putingnya dengan lidahku dan kusedot-sedot dengan sesekali kugigit-gigit kecil dengan gemas. Sementara jari telunjukku dan tengah mulai beraksi di liang kemaluannya. Kuusap-usap bibir kemaluannya yang telah licin dengan cairan kewanitaannya.
Tak lama, segera aku bangun dan aku tidur di lantai. Kusuruh ia menindihku dengan kepalanya mengarah ke batang kemaluanku dan dengan kaki mengangkang, dan mengarahkan lubang kemaluannya yang telah memerah ke wajahku.
“Hmmmm… srruupp… sruuupp…” aku mulai menjilat klitorisnya.
Kujulurkan lidahku memainkan daerah sekitar klitorisnya, kujilat klitorisnya ke atas, ke bawah, ke atas, ke bawah. Fei menggelinjang keenakan, pantatnya pun bergerak mencari spot-spot yang enak. Ia ternyata jago menghisap batang kemaluanku.
Sambil menghisap, sesekali dimain-mainkan lidahnya seperti anak kecil memainkan es krim. Kuvariasikan jilatan pada klitorisnya dengan sedotan. Kemudian bibir-bibir kiri dan kanannya yang hitam itu, kutarik-tarik daging lebih yang nikmat itu dengan sedotan bibirku.
“Sruuup… sruppp…” Pinggul Fei bergerak-gerak terus, kadang ke kiri kadang ke kanan, ke atas, ke bawah begitu seterusnya sampai akhirnya ia tekan kemaluannya di mulutku.
Hidungku ikut menempel di kemaluannya dan membuatku susah bernafas, dengan masih digoyang-goyangkan sambil mengerang panjang.
“Aahh… aahh… aaa… aaahh…” tiba-tiba badannya berbalik dan ia menciumku bertubi-tubi,
“Ahhh… enaaak Rie… rasanya seperti melayang…” sambil terus menciumi mukaku.
“Enak sih enak.. aku masih gantung nih..” Langsung kuangkat tubuhnya ke bibir sofa dan kukangkangkan kakinya.
Kuusap-usap kemaluannya yang masih memerah dan bengkak itu dengan tanganku. Kucari-cari di mana lubangnya.
Setelah beberapa saat kutekan-tekan, akhirnya kutemukan lubangnya. Pertama kucoba memasukkan jari kelingkingku, eh… masuk. Kucoba jari manisku, masuk juga. Kukeluarkan jari manisku yang basah, kucoba masukkan batang kemaluan,
“Aaahhh… pelan-pelan… sakit nih…” kata Fei meringis.
Kucoba dorong dengan bantuan tanganku, tapi susah sekali masuknya sampai kemaluanku meleot-leot. Akhirnya kuminta tangannya memegangi batang kemaluanku dan tangan satunya melebarkan bibir kemaluan. Aku menahan pahanya agar tubuhnya tidak mundur-mundur. Mulai kudorong batang kemaluanku masuk ke lubangnya, Fei masih meringis tapi aku tidak peduli. Aku harus menembak, kutahan kuat-kuat tubuh Fei dan kusorongkan tubuhku.
“Sreep… sreeep… bleesss…” batang kemaluanku masuk tak bersisa.
“Kamu baik-baik aja?” tanyaku. “Agak-agak pedih sih…” ringisnya.
Aku mulai beraksi. Segera kumaju-mundurkan batang kemaluanku di lubang kewanitaannya.
“Aahh… rasanyaaa… tidak terbayangkan… it’s my first time Man!” pikirku. Fei pun beraksi dengan menggoyang-goyangkan pantatnya, hingga bibir-bibir kemaluannya seperti mengulum-ngulum batang kemaluanku.
Kuhujam-hujamkan terus batang kemaluanku. Kulihat ekspresi muka Fei yang belum pernah kulihat sebelumnya dengan mata merem-melek. Bibir seksinya menganga mengeluarkan desahan-desahan yang semakin membuatku bergairah dan mempercepat gerakan batang kemaluanku maju mundur.
“Aahh… ahghh…” aku pun ikut merem-melek.
Kupindahkan tanganku dari pahanya dan mulai meremas-remas payudaranya yang mengeras. Goyangan-goyangan pinggul kami berkejar-kejaran dengan deru degup jantungku. Suara-suara erangan nikmat bercampur dengan suara gesekan batang kemaluanku dan liang kemaluan Fei yang telah banjir, mengaung ke seisi rumah yang sepi itu. Sampai akhirnya,
“Arriee… aakuuu… ngggaak kuu… kuuuat lagii… aaahhh.. ahhh… aaahh… aaaghhh…” Sambil menahan nafasnya, Badan Fei mengejang dengan dada menukik ke atas dan tangan meremas sofa kulit itu.
“Creeet… cret… creeet…” terasa keluar cairan dari dalam lubang kemaluannya.
Segera kugenjot dengan hujaman-hujaman cepat ke lubang kemaluannya.
Aku merasakan batang kemaluanku akan mengeluarkan mani. Segera kukeluarkan kemaluanku dan disambut dengan kocokan tangan Fei.
“Aah… aaahhh… aahhh..” aku mengerang keenakan dan..,
“Crooot.. croot.. croot..” air mani keluar dari kemaluanku muncrat kemana-mana mengenai sofa dan lantai sampai tak bersisa lagi.
“Aaahh… enaknya hidup ini”. Kurebahkan tubuhku ke sofa, kucium bibir Fei dengan lembut,
“Thank’s Fei… I love you so much”, sambil terus menciumi bibirnya.
Segera setelah itu kubersihkan tubuhku di kamar mandi dan aku melanjutkan pekerjaan Fei yang terpotong tadi… mengepel! Fei lelah kecapaian dengan tubuh ditutupi daster, ia beristirahat di sofa, wajahnya walaupun letih, tapi menampakkan rasa puas yang luar biasa.
Semenjak itu, setiap hari (kecuali minggu), kami melakukan seks. Setelah pembantu Fei pulang, beberapa hari sekali kami melakukannya di rumahku (kalau sedang tidak ada orang) dan di Ancol. Agar air maniku tak tumpah ke dalam mobil, aku selalu memakai kondom. Masa-masa bahagia kami berakhir, setelah terdengar isu akan terjadinya kerusuhan pada bulan Mei.
Fei beserta keluarga pamannya, pergi dari Indonesia pulang ke negeri China, rumahnya di Jakarta dijual. Semenjak itu aku tak pernah berjumpa lagi dengannya. Aku sangat kehilangan Fei, Fei lah cewek yang paling kusayang dan kucintai yang telah memberikan kepuasan lahir batin kepadaku
Post A Comment:
0 comments: