Sepenggal Kisah Kelam
CERITA HOT-Sesudah menikah aqu langsung mengikuti suami tinggal di Ibu Kota, Jakarta. Sebagai pegawai negeri suamiku hanya bisa kontrak rumah petak untuk tempat kita berteduh dan seseorang memiliki alamat untuk pulang. Sangat beda rasanya rumah di kota asalku Salatiga dimana hubungan antar manusia masih demikian kental dan saling manusia memanusiakan antara satu terhadap yg lain. Sementara di Jakarta yg aqu rasakan pertemuan antar manusia semata-mata lebih didorong oleh adanya kebutuhan duniawi. Hubungan akan berarti baik apabila seseorang bisa memberikan manfaat dunia lebih besar dari yg lain. Di Jakarta orang lebih berhitung pada masalah jumlah dgn mengorbankan mutu. Kalau aqu bisa memberi lebih banyak dari yg lain berarti aqu lebih baik dari yg lain, dan pantas menerima sikap hormat yg lebih tinggi dari yg lain.
Demikianlah suamiku yg dosen Universitas Negeri yg notabene pegawai negeri dgn embel-embel Ir. di depan namanya plus MM di belakangnya tak mampu meraih penampilan dan nilai yg layak di tengah masyarakat di sekitarku. Keluarga Mas Akbar yg penjaga gudang di daerah Caqung yg mengkontrak petak di sebelah kananku rumahku lebih memiliki nilai karena tampilan dunianya jauh lebih dari tampilan kita. Itulah kenyataan metropolitan yg hingar bingar dan gegap gempita ini.
Kebutuhan MCK (mandi, cuci dan kaqus) kita berhimpitan hanya dibatasi oleh selembar gedek yg rawan bolong-bolong. Hanya sikap morallah yg membatasi kita dalam arti yg lebih jauh. Bagi kita, khususnya bagi aqu dan Dik Nayma istri Mas Akbar tetangga sebelah, sumur adalah segala-galanya. Hampir 90% waktu kita habiskan di seputar sumur dan MCK-nya itu. Suami kita masing-masing sibuk dgn pekerjaannya. Bedanya kalau suamiku, Mas Karyo, seharian siang dia gag ada di rumah, sementara kalau Dik Nayma seharian malamnya suaminya jaga gudang di Caqung.
Antara para suami kita praktis jarang jumpa berpapasan karena waktu kesibukkannya yg terbalik. Sementara kita para istri juga kesibukan melayani suaminya jatuh pada waktu yg berbeda pula. Sebagai suami istri muda, Dik Nayma baru keluar dari kamarnya menuju ke sumur baru sekitar jam 11 siang. Tentu dia harus siap melayani berbagai kebutuhan suaminya yg baru pulang setiap jam 6 pagi itu. Dan aqu sendiri sebagaimana yg lain bercengkerama dgn suamiku pada malam harinya sepulang dari pekerjaannya. Kemungkinan penyimpangan hanya terjadi pada saat-saat tertentu, misalnya salah satu dari pasangan di antara kita ada yg sakit atau bepergian atau karena sebab yg lain. Suasana seperti itu juga terjadi di keluarga tetangga sekitar kita. Pada pagi hari rata-rata sepi. Anak-anak mereka pergi kesekolah dan para suami hampir seharian penuh mencari sandang pangan.
Sudah 5 hari Dik Nayma pulang ke desanya dgn maksud menjemput adiknya untuk diajak membantu di Jakarta. Ku lihat Mas Akbar menyiapkan sendiri segala kebutuhan sehari-harinya yg mulai dia laqukan sekitar jam 10 atau 11 pagi, seusai tidur sepulang jaga malam. Dia mencuci pakaiannya, membersihkan rumah, mencuci perabot dapur dan sebagainya. Mau tak mau aqu sering berpapasan di seputar sumur yg memang kita pakai berdua keluarga. Walaupun begitu kita jarang saling bicara. Aqu lebih senang begitu. Aqu taqut omongan tetangga yg gampang usil. Mas Akbar hampir seharian selalu berpakaian minimum dgn alasan udara Jakarta yg panas. Tanpa “ewuh pekewuh” dia selalu hanya bercelana pendek dan melepas bajunya. Aqu suka mencuri pandang. Postur badannya yg cukup tinggi nampak kekar berotot, sesuatu hal yg memang diperlukan untuk tugas semacam penjaga gudang dan semacamnya.
Pagi itu aqu sedang masak di dapurku yg sempit. Panasnya udara Jakarta memaksa aqu sendiri mondar-mandir di dapur dan sumur hanya menggunakan kutang dan kain yg kuikatkan se-enaknya ketika tiba-tiba Mas Akbar muncul di pintu.
“Mbakyu Dasimah, aqu mau minta tolong sedikit, nih”, sambil terus nyelonong memasuki rumahku. Aqu kaget, mau apa dia. Kulihat wajahnya kemerahan dgn matanya yg seperti kucing lapar melihat ikan asin menatap mataqu. Aqu merasakan sesuatu yg gag begitu enak. Adakah yg sangat penting sehingga dia harus masuk ke rumahku tanpa permisi lebih dahulu? Antara khawatir dan ingin menolong tetanga aqu bangun berdiri mengikuti langkahnya,
“Ada apa, Mas Akbar?”, aqu melihat matanya yg semakin menaqutkanku,
“Jangan marah, ya Mbak. Masalahnya aqu bener-bener gag tahan, nih. Dik Nayma kan sudah 5 hari pulang kampung. Aa.. kkuu.., mm.. Sorry.., ya, mbak, tadi pagi saat pulang jaga malam aqu mendengar mbak dan Mas Karyo masih ada di kamar sedang asyik masyuk”. Deg, hatiku. Kenapa Mas Akbar teganya ngomong begitu padaqu. Aqu gag sempat berpikir lebih jauh saat dgn serta merta dia meraih badanku dgn tangannya yg kuat membungkam mulutku kemudian beringsut merebahkan aqu ke kasur kamarku yg memang hanya terpisah oleh dinding gedek dapurku. Dgn sigapnya dia jejalkan gombal dari kantongnya ke mulutku yg aqu rasa sudah dia siapkan sebelumnya. Kemudian dgn kekuatan ototnya ditelikungnya tanganku untuk dia ikatkan ke ranjangku. Aqu langsung dilanda ketaqutan yg amat sangat. Aqu ingat suamiku, ingat sanak keluargaqu. Mungkinkan Mas Akbar mau membunuhku? Tetapi justru ketaqutanku itulah yg membuat aqu lemas dan langsung menyerah.
“mbak Dasimah gag usah taqut, aqu gag akan nyakitin mbak, kok. Aqu hanya perlu sebentar saja. Aqu sudah pengin bingit, nih. Tadi pagi saat Mas Karyo menyebadani mbak Dasimah aqu ngintip dari balik dinding”, dia berbisik dgn tajam ke telingaqu untuk meyakinkan bahwa aqu gag akan disakitinya,
“Aqu gag tahan, mbak, tolongin aqu, Mbak..”, dia langsung merangsek buah dadaqu dgn buasnya. Aqu melawan karena hal semacam ini tak pernah sama sekali terbit dalam pikiranku dan bayganku.
“Aqu gag tahan bener, mbak.. Tolongin aqu, mbak..”, kini ketiakku dia ruyaki sambil menyedoti dan menciumi habis-habisan. Dgn tanganku yg terikat sisa tenagaqu sama sekali gag sebanding dgn penjaga gudang berotot ini. Dgn kasar penuh nafsu kain penutup badanku dia tarik dan lepasi dgn mudahnya. Tangannya yg kasar dan kokoh itu langsung mengelus-elusi pahaqu. Kemudian dgn cepat juga jari-jarinya menyeruak kekemaluanku. Aduh, gag pernah terpikir olehku akan ada lelaki selain suamiku yg menyentuh barang kehormatanku ini. Aqu tak begitu saja bisa menerima kenyatan ini. Aqu menangis pilu walaupun hanya air mataqu saja yg menampakkan tangisku. Aqu menggeleng-gelengkan kepalaqu sebagai tanda penolakanku akan perbuatan Mas Akbar ini. Aqu anggap dia sudah berlaqu sangat tak menghormati aqu, suamiku, keluargaqu. Aqu sangat taqut akan aib yg akn menimpa kita.
Tetapi Mas Akbar terus membisiki aqu,
“Tenang mbak Dasimah, gag apa-apa. Jangan taqut, gag ada yg bakalan tahu. Hanya kita berdua saja yg tahu. Aqu berjanji untuk seumur hidupku hanya akan menjadi rahasia kita berdua saja”. Benarkah? Penjaga gudang ini ternyata memang lihay. Benar atau tak kata-katanya itu ternyata mampu memberikan aqu kesejukkan, setak-taknya melerai rasa taqutku akan kemungkinan dia melukai atau menyakiti badanmu. Seakan aqu memiliki pilihan, melawan dgn risiko dia akan bertindak brutal dgn menyakiti aqu atau menyerah pasrah dgn risiko aqu harus mengikuti dan memenuhi permintaannya. Dan menyadari akan keterbatasanku saat ini pilihan kedua akan memberikan padaqu keselamatan fisikku. Hal-hal lain soal nantilah, yg penting aqu selamat lebih dahulu.
Kini aqu mulai merasakan secara rinci apa yg sedang dan kemungkinan akan dia laqukan padaqu. Jari-jarinya yg terus menari-nari di kemaluanku terasa sangat menggelikan saraf-saraf peka birahimu. Aqu mulai merasakan kenikmatan. Aqu merasakan jari-jari Mas Akbar sangat pintar membangkitkan kehausan birahiku.
Melihat aqu bersikap menyerah dan pasrah dia semakin ganas melumati ketiak yg kemudian melata bergeser ke leherku kemudian juga ke tepian kupingku.
“mbak Dasimah, mbak sangat cantik sekali. Aqu tadi pagi mengintip mbak yg sedang digauli Mas Karyo, oh, mbak.., aqu gag tahan melihat wajah mbak yg menggelinjang menerima kenikmatan dari Mas Karyo. Sekarang mbak mesti nyobain kenikmatan dari aqu, ya, mbak?”.
Kemudian dgn pelan tetapi pasti Mas Akbar membelah selangkanganku. Dia menempatkan badannya tepat di antara selangkanganku. Dan dgn sekejab aqu merasakan sesuatu yg hangat panas mendesak-desaki kemaluanku. Aqu sudah tahu, itu kemaluannya.
Rasa pasrah dan menyerahku hanya memberikan aqu satu pilihan, nikmatilah. Dan aqu mencoba mencari kenikmatannya. Saat Mas Akbar terus mendesakkan kemaluannya dgn cara mendorong menaik-turunkan badannya memompakan kemaluannya ke kemaluanku dgn refleks yg aqu miliki aqu menjemputinya.
Aqu memutar-mutar bokongku kemudian menaik turunkannya untuk menjemput kemaluannya. Aqu merasa mulai gatal di lubang kemaluanqu. Aqu merasakan mulai mengalirnya cairan birahiku. Dan itu juga langsung diketahui oleh Mas Akbar yg semakin cepat dan keras mendesakkan kemaluannya ke kemaluanku.
Dan tanpa ayal lagi, akhirnya seluruh batangan kemaluan Mas Akbar tenggelam dilahap kemaluanku. Hoohh.., aqu tak menduga bahwa aqu akan mendapatkan kenikmatan yg sangat luar biasa di pagi hari ini. Kemaluan Mas Akbar yg berada dalam terkaman kemaluanqu keluar masuk menggelitiki dinding-dinding peka kemaluanqu. Aqu menggelinjang, mendesah dan merintih lirih. Aqu ikut memompa mengimbamgi pompaan Mas Akbar.Gairahsex
Mas Akbar menatapku sesaat sementara kemaluannya terus memompa kemaluanqu. Kemudian dia lepaskan sumpal mulutku untuk selanjutnya dia daratkan bibirnya ke bibirku. Kita saling melumat. Aqu merasa sangat kehausan. Lepas dari sumpal itu sungguh melegakan. Dan kini sikapku adalah ingin memberikan sepenuhnya kepuasan kepada Mas Akbar. Aqu sudah memasuki gerbang nafsuku sendiri. Aqu juga ingin meraih madunya paksaan dan pemerkosaan dia atasku. Aqu melumat habis-habisan mulutnya. Aqu hisap-hisap lidahnya, aqu sedoti ludahnya. Aqu mengerang dan meracau,
“Mas Akbar, Sorryin aqu, ya.., aqu tadi taqut bingit.., Mas Akbar, uuhh.. Kemaluanmu ennaakk bingit.. Mas Akbar, Sorryin mbak Dasimah, ya.. Mas Tondii.. teruszzhh.. ennhhaakk bingitt..”, dan Akbar terus memompakan kemaluannya ke kemaluanqu dgn mantab sekali. Kita sudah meraih irama persanggamaan bersama. Kita sedang mengejar kepuasan puncak dari persanggamaan ini.
Akhirnya tali yg mengikat tangankupun dilepaskannya. Kini tak ada lagi pemerkosaan. Yg ada adalah kesepakatan bersama untuk meraih puncak nikmat birahi. Keringat mulai membanjir dari badan-badan kita. Mas Akbar menggenjot dan aqu menjemput. Kakiku kunaikkan ke pundaknya hingga kemaluan Mas Akbar terasa mentok menyentuh rahimku. Nikmat yg kurasakan sungguh luar biasa. Dari penyebab awalnya dimana norma sopan dan adab tak lagi dijadikan batasan membuat aqu juga bisa berlaqu saenakku, kini kurenggut kepala Mas Akbar. Kudekatkan ke wajahku dan kuenyoti bibirnya sambil kujambaki rambutnya. Kemaluanqu yg gatalnya semakin gag ketulungan membuat aqu jadi buas, binal dan liar tak sebagaimana saat aqu bersanggama dgn suamiku selama ini.
Aqu menggelinjang-gelinjang dgn sangat hebatnya. Aqu berteriak histeris tertahan sebagai wujud pelampiasan nafsu birahiku yg tak terkendali ini. Aqu ingin dipuaskan sejadi-jadinya. Aqu berguling. Dgn rambutku yg sudah lepas terurai dari ikatannya dan dgn keringat yg semakin membasah mengucur dari badanku aqu tumpakin badan Mas Akbar. Aqu desakkan habis-habisan kemaluanqu ke kemaluannya untuk menggaruk lebih keras kegatalan di dalamnya. Aqu sangat gelisah dan resah menunggu hadirnya orgasmeku. Setiap kali aqu mendongak dan menyibakkan rambutku kemudian kembali menunduk histeris. Tangan-tanganku mencekal gumpalan dada Mas Akbar hingga kuku-kukuku menancap dalam ke dagingnya. Rasa gatal yg sangat mendesaki kemaluanqu, aqu tahu bahwa tak akan lama cairan birahiku akan tumpah ruah. Aqu sudah demikian lupa diriku.
Akhirnya kita sama-sama mencapai kepuasan puncak kita. Cairan hangat yg menyemprot dari kemaluan Mas Akbar ke dalam kemaluanqu langsung disambut dgn muntahan berlimpah cairan birahi kemaluanqu. Aqu langsung tersungkur sementara kedutan-kedutan kemaluan Mas Akbar belum sepenuhnya usai.
Aqu masih melamun dalam penyesalan saat Mas Akbar bangkit dari ranjangku. Dia mencium keningku dan berlalu. Kudengar bisikan terima kasih dari bibirnya. Saat aqu ingin sekali lagi menangkap untuk mengecupnya dia sudah hilang di balik pintu.
Siang itu aqu tak masak. Rasa penat disekujur badanku membuat aqu bermalasan sepanjang hari itu. Saat Mas Karyo pulang kulihat dia membawa bungkusan plastik di tangannya. Dia membawa mie goreng dan fuyunghai kesukaanku. Seakan aqu melupakan apa yg sudah terjadi siang tadi kini aqu duduk makan bersama suamiku dgn perasaan penuh galau. Pada Mas Karyo aqu sampaikan keinginanku untuk beberapa waktu aqu pulang mudik. Aqu bilang sudah kangen sama sanak famili di Salatiga. Mas Karyo menatap aqu, menatap mataqu. Dia berusaha membaca relung hatiku. Dia setuju aqu pulang. Dia menyadari bahwa aqu masih dalam proses adaptasi dalam menyelami kehidupan Jakarta. Dia akan menjemputku saat kembali ke Jakarta nanti.
Rupanya permintaanku pulang dia sambut dgn sebuah rencana yg memberikan kejutan bagiku. Sesudah barang tiga minggu dgn penuh rindu aqu menunggu jemputan Mas Karyo, dia menelponku. Dia bilang bahwa tak bisa datang menjemputku karena kesibukkan di kampusnya. Tetapi dia sudah mengirimkan 5 lembar tiket Garuda yg bisa aqu ambil di kantor Garuda Semarang. Dia minta supaya aqu mengajak serta kedua orang tuaqu dan 2 orang adikku yg sedang liburan sekolah. Sesuai dgn hari yg ditetapkan Mas Karyo menjemputku di bandara Sukarno Hatta dgn sebuah Kijang baru. Aqu heran ternyata Mas Karyo bisa menyopir mobil sendiri.
Dan kejutan yg paling hebat dari Mas Karyo adalah saat mobil Kijang ini tak meluncur ke rumah yg kukenal sebagai rumah kita selama ini. Melalui jalan tol Jagorawi Mas Karyo membawa mobilnya ke kompleks perumahan dosen di Cibubur. Kita memasuki rumah baru kita yg besar dan luas. Segala barang-barang dari rumah lama sudah dipindahkan seluruhnya ke rumah baru ini. Aqu melihat bagaimana orang tuaqu dan adik-adikku menyambut gembira atas limpahan rejeki dan rahmat kepada kita. Di depan mereka Mas Karyo merangkul aqu dan mencium pipiku yg kusambut dgn sepenuh hangat hatiku. Aqu membulatkan tekadku untuk sepenuhnya mengabdi dan mendukung segala usaha dan karier Mas Karyo suamiku.
Demikianlah suamiku yg dosen Universitas Negeri yg notabene pegawai negeri dgn embel-embel Ir. di depan namanya plus MM di belakangnya tak mampu meraih penampilan dan nilai yg layak di tengah masyarakat di sekitarku. Keluarga Mas Akbar yg penjaga gudang di daerah Caqung yg mengkontrak petak di sebelah kananku rumahku lebih memiliki nilai karena tampilan dunianya jauh lebih dari tampilan kita. Itulah kenyataan metropolitan yg hingar bingar dan gegap gempita ini.
Kebutuhan MCK (mandi, cuci dan kaqus) kita berhimpitan hanya dibatasi oleh selembar gedek yg rawan bolong-bolong. Hanya sikap morallah yg membatasi kita dalam arti yg lebih jauh. Bagi kita, khususnya bagi aqu dan Dik Nayma istri Mas Akbar tetangga sebelah, sumur adalah segala-galanya. Hampir 90% waktu kita habiskan di seputar sumur dan MCK-nya itu. Suami kita masing-masing sibuk dgn pekerjaannya. Bedanya kalau suamiku, Mas Karyo, seharian siang dia gag ada di rumah, sementara kalau Dik Nayma seharian malamnya suaminya jaga gudang di Caqung.
Antara para suami kita praktis jarang jumpa berpapasan karena waktu kesibukkannya yg terbalik. Sementara kita para istri juga kesibukan melayani suaminya jatuh pada waktu yg berbeda pula. Sebagai suami istri muda, Dik Nayma baru keluar dari kamarnya menuju ke sumur baru sekitar jam 11 siang. Tentu dia harus siap melayani berbagai kebutuhan suaminya yg baru pulang setiap jam 6 pagi itu. Dan aqu sendiri sebagaimana yg lain bercengkerama dgn suamiku pada malam harinya sepulang dari pekerjaannya. Kemungkinan penyimpangan hanya terjadi pada saat-saat tertentu, misalnya salah satu dari pasangan di antara kita ada yg sakit atau bepergian atau karena sebab yg lain. Suasana seperti itu juga terjadi di keluarga tetangga sekitar kita. Pada pagi hari rata-rata sepi. Anak-anak mereka pergi kesekolah dan para suami hampir seharian penuh mencari sandang pangan.
Sudah 5 hari Dik Nayma pulang ke desanya dgn maksud menjemput adiknya untuk diajak membantu di Jakarta. Ku lihat Mas Akbar menyiapkan sendiri segala kebutuhan sehari-harinya yg mulai dia laqukan sekitar jam 10 atau 11 pagi, seusai tidur sepulang jaga malam. Dia mencuci pakaiannya, membersihkan rumah, mencuci perabot dapur dan sebagainya. Mau tak mau aqu sering berpapasan di seputar sumur yg memang kita pakai berdua keluarga. Walaupun begitu kita jarang saling bicara. Aqu lebih senang begitu. Aqu taqut omongan tetangga yg gampang usil. Mas Akbar hampir seharian selalu berpakaian minimum dgn alasan udara Jakarta yg panas. Tanpa “ewuh pekewuh” dia selalu hanya bercelana pendek dan melepas bajunya. Aqu suka mencuri pandang. Postur badannya yg cukup tinggi nampak kekar berotot, sesuatu hal yg memang diperlukan untuk tugas semacam penjaga gudang dan semacamnya.
Pagi itu aqu sedang masak di dapurku yg sempit. Panasnya udara Jakarta memaksa aqu sendiri mondar-mandir di dapur dan sumur hanya menggunakan kutang dan kain yg kuikatkan se-enaknya ketika tiba-tiba Mas Akbar muncul di pintu.
“Mbakyu Dasimah, aqu mau minta tolong sedikit, nih”, sambil terus nyelonong memasuki rumahku. Aqu kaget, mau apa dia. Kulihat wajahnya kemerahan dgn matanya yg seperti kucing lapar melihat ikan asin menatap mataqu. Aqu merasakan sesuatu yg gag begitu enak. Adakah yg sangat penting sehingga dia harus masuk ke rumahku tanpa permisi lebih dahulu? Antara khawatir dan ingin menolong tetanga aqu bangun berdiri mengikuti langkahnya,
“Ada apa, Mas Akbar?”, aqu melihat matanya yg semakin menaqutkanku,
“Jangan marah, ya Mbak. Masalahnya aqu bener-bener gag tahan, nih. Dik Nayma kan sudah 5 hari pulang kampung. Aa.. kkuu.., mm.. Sorry.., ya, mbak, tadi pagi saat pulang jaga malam aqu mendengar mbak dan Mas Karyo masih ada di kamar sedang asyik masyuk”. Deg, hatiku. Kenapa Mas Akbar teganya ngomong begitu padaqu. Aqu gag sempat berpikir lebih jauh saat dgn serta merta dia meraih badanku dgn tangannya yg kuat membungkam mulutku kemudian beringsut merebahkan aqu ke kasur kamarku yg memang hanya terpisah oleh dinding gedek dapurku. Dgn sigapnya dia jejalkan gombal dari kantongnya ke mulutku yg aqu rasa sudah dia siapkan sebelumnya. Kemudian dgn kekuatan ototnya ditelikungnya tanganku untuk dia ikatkan ke ranjangku. Aqu langsung dilanda ketaqutan yg amat sangat. Aqu ingat suamiku, ingat sanak keluargaqu. Mungkinkan Mas Akbar mau membunuhku? Tetapi justru ketaqutanku itulah yg membuat aqu lemas dan langsung menyerah.
“mbak Dasimah gag usah taqut, aqu gag akan nyakitin mbak, kok. Aqu hanya perlu sebentar saja. Aqu sudah pengin bingit, nih. Tadi pagi saat Mas Karyo menyebadani mbak Dasimah aqu ngintip dari balik dinding”, dia berbisik dgn tajam ke telingaqu untuk meyakinkan bahwa aqu gag akan disakitinya,
“Aqu gag tahan, mbak, tolongin aqu, Mbak..”, dia langsung merangsek buah dadaqu dgn buasnya. Aqu melawan karena hal semacam ini tak pernah sama sekali terbit dalam pikiranku dan bayganku.
“Aqu gag tahan bener, mbak.. Tolongin aqu, mbak..”, kini ketiakku dia ruyaki sambil menyedoti dan menciumi habis-habisan. Dgn tanganku yg terikat sisa tenagaqu sama sekali gag sebanding dgn penjaga gudang berotot ini. Dgn kasar penuh nafsu kain penutup badanku dia tarik dan lepasi dgn mudahnya. Tangannya yg kasar dan kokoh itu langsung mengelus-elusi pahaqu. Kemudian dgn cepat juga jari-jarinya menyeruak kekemaluanku. Aduh, gag pernah terpikir olehku akan ada lelaki selain suamiku yg menyentuh barang kehormatanku ini. Aqu tak begitu saja bisa menerima kenyatan ini. Aqu menangis pilu walaupun hanya air mataqu saja yg menampakkan tangisku. Aqu menggeleng-gelengkan kepalaqu sebagai tanda penolakanku akan perbuatan Mas Akbar ini. Aqu anggap dia sudah berlaqu sangat tak menghormati aqu, suamiku, keluargaqu. Aqu sangat taqut akan aib yg akn menimpa kita.
Tetapi Mas Akbar terus membisiki aqu,
“Tenang mbak Dasimah, gag apa-apa. Jangan taqut, gag ada yg bakalan tahu. Hanya kita berdua saja yg tahu. Aqu berjanji untuk seumur hidupku hanya akan menjadi rahasia kita berdua saja”. Benarkah? Penjaga gudang ini ternyata memang lihay. Benar atau tak kata-katanya itu ternyata mampu memberikan aqu kesejukkan, setak-taknya melerai rasa taqutku akan kemungkinan dia melukai atau menyakiti badanmu. Seakan aqu memiliki pilihan, melawan dgn risiko dia akan bertindak brutal dgn menyakiti aqu atau menyerah pasrah dgn risiko aqu harus mengikuti dan memenuhi permintaannya. Dan menyadari akan keterbatasanku saat ini pilihan kedua akan memberikan padaqu keselamatan fisikku. Hal-hal lain soal nantilah, yg penting aqu selamat lebih dahulu.
Kini aqu mulai merasakan secara rinci apa yg sedang dan kemungkinan akan dia laqukan padaqu. Jari-jarinya yg terus menari-nari di kemaluanku terasa sangat menggelikan saraf-saraf peka birahimu. Aqu mulai merasakan kenikmatan. Aqu merasakan jari-jari Mas Akbar sangat pintar membangkitkan kehausan birahiku.
Melihat aqu bersikap menyerah dan pasrah dia semakin ganas melumati ketiak yg kemudian melata bergeser ke leherku kemudian juga ke tepian kupingku.
“mbak Dasimah, mbak sangat cantik sekali. Aqu tadi pagi mengintip mbak yg sedang digauli Mas Karyo, oh, mbak.., aqu gag tahan melihat wajah mbak yg menggelinjang menerima kenikmatan dari Mas Karyo. Sekarang mbak mesti nyobain kenikmatan dari aqu, ya, mbak?”.
Kemudian dgn pelan tetapi pasti Mas Akbar membelah selangkanganku. Dia menempatkan badannya tepat di antara selangkanganku. Dan dgn sekejab aqu merasakan sesuatu yg hangat panas mendesak-desaki kemaluanku. Aqu sudah tahu, itu kemaluannya.
Rasa pasrah dan menyerahku hanya memberikan aqu satu pilihan, nikmatilah. Dan aqu mencoba mencari kenikmatannya. Saat Mas Akbar terus mendesakkan kemaluannya dgn cara mendorong menaik-turunkan badannya memompakan kemaluannya ke kemaluanku dgn refleks yg aqu miliki aqu menjemputinya.
Aqu memutar-mutar bokongku kemudian menaik turunkannya untuk menjemput kemaluannya. Aqu merasa mulai gatal di lubang kemaluanqu. Aqu merasakan mulai mengalirnya cairan birahiku. Dan itu juga langsung diketahui oleh Mas Akbar yg semakin cepat dan keras mendesakkan kemaluannya ke kemaluanku.
Dan tanpa ayal lagi, akhirnya seluruh batangan kemaluan Mas Akbar tenggelam dilahap kemaluanku. Hoohh.., aqu tak menduga bahwa aqu akan mendapatkan kenikmatan yg sangat luar biasa di pagi hari ini. Kemaluan Mas Akbar yg berada dalam terkaman kemaluanqu keluar masuk menggelitiki dinding-dinding peka kemaluanqu. Aqu menggelinjang, mendesah dan merintih lirih. Aqu ikut memompa mengimbamgi pompaan Mas Akbar.Gairahsex
Mas Akbar menatapku sesaat sementara kemaluannya terus memompa kemaluanqu. Kemudian dia lepaskan sumpal mulutku untuk selanjutnya dia daratkan bibirnya ke bibirku. Kita saling melumat. Aqu merasa sangat kehausan. Lepas dari sumpal itu sungguh melegakan. Dan kini sikapku adalah ingin memberikan sepenuhnya kepuasan kepada Mas Akbar. Aqu sudah memasuki gerbang nafsuku sendiri. Aqu juga ingin meraih madunya paksaan dan pemerkosaan dia atasku. Aqu melumat habis-habisan mulutnya. Aqu hisap-hisap lidahnya, aqu sedoti ludahnya. Aqu mengerang dan meracau,
“Mas Akbar, Sorryin aqu, ya.., aqu tadi taqut bingit.., Mas Akbar, uuhh.. Kemaluanmu ennaakk bingit.. Mas Akbar, Sorryin mbak Dasimah, ya.. Mas Tondii.. teruszzhh.. ennhhaakk bingitt..”, dan Akbar terus memompakan kemaluannya ke kemaluanqu dgn mantab sekali. Kita sudah meraih irama persanggamaan bersama. Kita sedang mengejar kepuasan puncak dari persanggamaan ini.
Akhirnya tali yg mengikat tangankupun dilepaskannya. Kini tak ada lagi pemerkosaan. Yg ada adalah kesepakatan bersama untuk meraih puncak nikmat birahi. Keringat mulai membanjir dari badan-badan kita. Mas Akbar menggenjot dan aqu menjemput. Kakiku kunaikkan ke pundaknya hingga kemaluan Mas Akbar terasa mentok menyentuh rahimku. Nikmat yg kurasakan sungguh luar biasa. Dari penyebab awalnya dimana norma sopan dan adab tak lagi dijadikan batasan membuat aqu juga bisa berlaqu saenakku, kini kurenggut kepala Mas Akbar. Kudekatkan ke wajahku dan kuenyoti bibirnya sambil kujambaki rambutnya. Kemaluanqu yg gatalnya semakin gag ketulungan membuat aqu jadi buas, binal dan liar tak sebagaimana saat aqu bersanggama dgn suamiku selama ini.
Aqu menggelinjang-gelinjang dgn sangat hebatnya. Aqu berteriak histeris tertahan sebagai wujud pelampiasan nafsu birahiku yg tak terkendali ini. Aqu ingin dipuaskan sejadi-jadinya. Aqu berguling. Dgn rambutku yg sudah lepas terurai dari ikatannya dan dgn keringat yg semakin membasah mengucur dari badanku aqu tumpakin badan Mas Akbar. Aqu desakkan habis-habisan kemaluanqu ke kemaluannya untuk menggaruk lebih keras kegatalan di dalamnya. Aqu sangat gelisah dan resah menunggu hadirnya orgasmeku. Setiap kali aqu mendongak dan menyibakkan rambutku kemudian kembali menunduk histeris. Tangan-tanganku mencekal gumpalan dada Mas Akbar hingga kuku-kukuku menancap dalam ke dagingnya. Rasa gatal yg sangat mendesaki kemaluanqu, aqu tahu bahwa tak akan lama cairan birahiku akan tumpah ruah. Aqu sudah demikian lupa diriku.
Akhirnya kita sama-sama mencapai kepuasan puncak kita. Cairan hangat yg menyemprot dari kemaluan Mas Akbar ke dalam kemaluanqu langsung disambut dgn muntahan berlimpah cairan birahi kemaluanqu. Aqu langsung tersungkur sementara kedutan-kedutan kemaluan Mas Akbar belum sepenuhnya usai.
Aqu masih melamun dalam penyesalan saat Mas Akbar bangkit dari ranjangku. Dia mencium keningku dan berlalu. Kudengar bisikan terima kasih dari bibirnya. Saat aqu ingin sekali lagi menangkap untuk mengecupnya dia sudah hilang di balik pintu.
Siang itu aqu tak masak. Rasa penat disekujur badanku membuat aqu bermalasan sepanjang hari itu. Saat Mas Karyo pulang kulihat dia membawa bungkusan plastik di tangannya. Dia membawa mie goreng dan fuyunghai kesukaanku. Seakan aqu melupakan apa yg sudah terjadi siang tadi kini aqu duduk makan bersama suamiku dgn perasaan penuh galau. Pada Mas Karyo aqu sampaikan keinginanku untuk beberapa waktu aqu pulang mudik. Aqu bilang sudah kangen sama sanak famili di Salatiga. Mas Karyo menatap aqu, menatap mataqu. Dia berusaha membaca relung hatiku. Dia setuju aqu pulang. Dia menyadari bahwa aqu masih dalam proses adaptasi dalam menyelami kehidupan Jakarta. Dia akan menjemputku saat kembali ke Jakarta nanti.
Rupanya permintaanku pulang dia sambut dgn sebuah rencana yg memberikan kejutan bagiku. Sesudah barang tiga minggu dgn penuh rindu aqu menunggu jemputan Mas Karyo, dia menelponku. Dia bilang bahwa tak bisa datang menjemputku karena kesibukkan di kampusnya. Tetapi dia sudah mengirimkan 5 lembar tiket Garuda yg bisa aqu ambil di kantor Garuda Semarang. Dia minta supaya aqu mengajak serta kedua orang tuaqu dan 2 orang adikku yg sedang liburan sekolah. Sesuai dgn hari yg ditetapkan Mas Karyo menjemputku di bandara Sukarno Hatta dgn sebuah Kijang baru. Aqu heran ternyata Mas Karyo bisa menyopir mobil sendiri.
Dan kejutan yg paling hebat dari Mas Karyo adalah saat mobil Kijang ini tak meluncur ke rumah yg kukenal sebagai rumah kita selama ini. Melalui jalan tol Jagorawi Mas Karyo membawa mobilnya ke kompleks perumahan dosen di Cibubur. Kita memasuki rumah baru kita yg besar dan luas. Segala barang-barang dari rumah lama sudah dipindahkan seluruhnya ke rumah baru ini. Aqu melihat bagaimana orang tuaqu dan adik-adikku menyambut gembira atas limpahan rejeki dan rahmat kepada kita. Di depan mereka Mas Karyo merangkul aqu dan mencium pipiku yg kusambut dgn sepenuh hangat hatiku. Aqu membulatkan tekadku untuk sepenuhnya mengabdi dan mendukung segala usaha dan karier Mas Karyo suamiku.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus