Imunoterapi Harapan Baru Pasien Kanker Paru
Berita Terupdate168- Imunoterapi menjadi harapan baru bagi pasien kanker paru yang umumnya adalah para perokok.
Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin.”
Peringatan semacam ini sudah sering dijumpai di berbagai sudut reklame di jalan-jalan hingga bungkus-bungkus rokok. Sayangnya peringatan yang bertujuan mulia ini hanya angin lalu saja, buktinya jumlah perokok terus bertambah. Peningkatan jumlah perokok juga mendorong banyaknya orang yang terpapar asap rokok, termasuk perokok pasif.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013, sebesar 85 persen rumah tangga di Indonesia terpapar asap rokok. Mereka terdiri dari kategori tidak merokok, mantan perokok, kadang-kadang merokok, dan perokok setiap hari. Khusus perokok setiap hari, jumlahnya ternyata meningkat. Pada Riskesda 2007 perokok setiap hari masih 23,7 persen, lalu pada 2013 bertambah menjadi 24,3 persen.
Jumlah perokok aktif yang meningkat, memunculkan risiko penderita penyakit kanker paru makin bertambah di Indonesia. Para perokok memiliki risiko terkena kanker paru 7,8 kali lebih besar dibandingkan yang tak merokok.Kanker paru penyebab paling umum kematian akibat kanker di seluruh dunia.
“Faktor paling besar kanker paru adalah karena perokok,” kata dr. Sita Laksmi Andarini, Ph.D, Sp.P(K) dalam seminar mengenai Imunoterapi, Jumat, (16/6/2017).
Menurut dokter Sita, pasien kanker paru memiliki median survival hanya berkisar 6 sampai 9 bulan lamanya. Kelompok pasien yang mampu bertahan hidup sampai 1 tahun besarnya hanya kurang dari 40 persen. Namun dunia kedokteran tak lantas menyerah berinovasi untuk memperpanjang harapan hidup para pasien kanker paru. Pada masa lalu, sekitar 1809-an para dokter biasanya melakukan tindakan bedah, kemudian pada 1896 berkembang menjadi tindakan radiasi bagi penderita kanker paru.
Kemudian metode kemoterapi mulai diperkenalkan menjadi tindakan medis sejak 1940-an dan masih dilakukan hingga kini. Pada 1990-an muncul evolusi pengobatan kanker dengan tindakan terapi target untuk memblok sel kanker agar tidak berkembang. Pada abad ke-21, masa awal 2000-an mulai ditemukan pengobatan kanker dengan metode imunoterapi.
Peringatan semacam ini sudah sering dijumpai di berbagai sudut reklame di jalan-jalan hingga bungkus-bungkus rokok. Sayangnya peringatan yang bertujuan mulia ini hanya angin lalu saja, buktinya jumlah perokok terus bertambah. Peningkatan jumlah perokok juga mendorong banyaknya orang yang terpapar asap rokok, termasuk perokok pasif.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013, sebesar 85 persen rumah tangga di Indonesia terpapar asap rokok. Mereka terdiri dari kategori tidak merokok, mantan perokok, kadang-kadang merokok, dan perokok setiap hari. Khusus perokok setiap hari, jumlahnya ternyata meningkat. Pada Riskesda 2007 perokok setiap hari masih 23,7 persen, lalu pada 2013 bertambah menjadi 24,3 persen.
Jumlah perokok aktif yang meningkat, memunculkan risiko penderita penyakit kanker paru makin bertambah di Indonesia. Para perokok memiliki risiko terkena kanker paru 7,8 kali lebih besar dibandingkan yang tak merokok.Kanker paru penyebab paling umum kematian akibat kanker di seluruh dunia.
“Faktor paling besar kanker paru adalah karena perokok,” kata dr. Sita Laksmi Andarini, Ph.D, Sp.P(K) dalam seminar mengenai Imunoterapi, Jumat, (16/6/2017).
Menurut dokter Sita, pasien kanker paru memiliki median survival hanya berkisar 6 sampai 9 bulan lamanya. Kelompok pasien yang mampu bertahan hidup sampai 1 tahun besarnya hanya kurang dari 40 persen. Namun dunia kedokteran tak lantas menyerah berinovasi untuk memperpanjang harapan hidup para pasien kanker paru. Pada masa lalu, sekitar 1809-an para dokter biasanya melakukan tindakan bedah, kemudian pada 1896 berkembang menjadi tindakan radiasi bagi penderita kanker paru.
Kemudian metode kemoterapi mulai diperkenalkan menjadi tindakan medis sejak 1940-an dan masih dilakukan hingga kini. Pada 1990-an muncul evolusi pengobatan kanker dengan tindakan terapi target untuk memblok sel kanker agar tidak berkembang. Pada abad ke-21, masa awal 2000-an mulai ditemukan pengobatan kanker dengan metode imunoterapi.
Imunoterapi dan Cara Kerjanya
Imunoterapi merupakan metode pengobatan untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh (imun) untuk melawan penyakit tertentu. Pengobatan ini sudah mulai diteliti dan dilakukan secara terbatas pada 2004-2006 di Amerika dan mulai dipasarkan tiga tahun kemudian.
Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat mulai menyantumkan imunorterapi sebagai pengobatan second line pada Desember 2015. Sementara, di Indonesia baru bisa diakses pada Agustus 2016 dengan akses khusus yang diberikan Kementerian Kesehatan.
“Tapi Juni 2017 ini, kita sudah menerima izin edar pembrolizumab dari BPOM, sebagai imunoterapi pertama yang tersedia di Indonesia untuk pengobatan kanker paru stadium lanjut atau yang sudah bermetastasis,” ujar dokter Sita.
Secara sederhana, imunoterapi bisa dikatakan pengobatan kanker dengan cara meningkatkan imunitas pada pasien. Walaupun pada awalnya pengobatan dengan metode ini pernah dianggap remeh dan dijadikan hanya sebagai alternatif. Namun, kini FDA malah sudah menyetujuinya sebagai pengobatan lini pertama. Imunoterapi bekerja dengan mencegah interaksi antara sel T milik sistem imun dan tumor. Saat tumor dan sel T berinteraksi, sebuah protein di tumor yang disebut Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1) melumpuhkan sel T sehingga sel-sel imun tidak dapat mengenali dan membunuh sel-sel kanker.
Sejatinya, sel imun dalam tubuh sudah terprogram untuk membunuh sel kanker. Namun, sel-sel kanker juga membuat zat-zat untuk melemahkan respons imun dengan cara mengubah bentuk sehingga sulit dikenali sel T. Melalui imunoterapi, interaksi ini bisa diblok sehingga sel T bisa mendeteksi dan membasmi sel-sel kanker. Sebelum mendapatkan terapi ini, pasien disyaratkan harus responsif PD-L1 di tumor. Setelahnya baru pembrolizumab diberikan dengan cara diinfus selama 30 menit dalam jangka waktu per 21 hari.
“Di Amerika, jika ekspresi PD-L1 banyak, melebihi 50 persen, maka boleh dijadikan langkah terapi pertama. Di Indonesia, kita boleh gunakan untuk yang telah gagal melakukan pengobatan lini pertama,” jelas Sita.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa efek samping dari imunoterapi melalui obat pembrolizumab yang paling umum mencakup berkurangnya nafsu makan, kelelahan, mual, dan ruam kulit. Meski memiliki efek samping yang hampir sama dengan kemoterapi, tapi percobaan klinis menunjukkan pembrolizumab memiliki efek samping pengobatan yang lebih rendah ketimbang kemoterapi.
Pemberian pembrolizumab dapat memperpanjang kualitas hidup pasien kanker paru 2-4 bulan dibandingkan dengan kemoterapi. Jika dengan kemoterapi pasien bisa bertahan 6-9 bulan lamanya, maka dengan imunorterapi pasien bisa bertahan 10-12 bulan.
Adanya metode baru untuk meningkatkan harapan hidup para penderita kanker paru bukan berarti ancaman kanker baru sudah berlalu. Bagi mereka yang masih aktif merokok, sudah sepatutnya berpikir ulang agar tak menambah daftar pasien kanker paru.
Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat mulai menyantumkan imunorterapi sebagai pengobatan second line pada Desember 2015. Sementara, di Indonesia baru bisa diakses pada Agustus 2016 dengan akses khusus yang diberikan Kementerian Kesehatan.
“Tapi Juni 2017 ini, kita sudah menerima izin edar pembrolizumab dari BPOM, sebagai imunoterapi pertama yang tersedia di Indonesia untuk pengobatan kanker paru stadium lanjut atau yang sudah bermetastasis,” ujar dokter Sita.
Secara sederhana, imunoterapi bisa dikatakan pengobatan kanker dengan cara meningkatkan imunitas pada pasien. Walaupun pada awalnya pengobatan dengan metode ini pernah dianggap remeh dan dijadikan hanya sebagai alternatif. Namun, kini FDA malah sudah menyetujuinya sebagai pengobatan lini pertama. Imunoterapi bekerja dengan mencegah interaksi antara sel T milik sistem imun dan tumor. Saat tumor dan sel T berinteraksi, sebuah protein di tumor yang disebut Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1) melumpuhkan sel T sehingga sel-sel imun tidak dapat mengenali dan membunuh sel-sel kanker.
Sejatinya, sel imun dalam tubuh sudah terprogram untuk membunuh sel kanker. Namun, sel-sel kanker juga membuat zat-zat untuk melemahkan respons imun dengan cara mengubah bentuk sehingga sulit dikenali sel T. Melalui imunoterapi, interaksi ini bisa diblok sehingga sel T bisa mendeteksi dan membasmi sel-sel kanker. Sebelum mendapatkan terapi ini, pasien disyaratkan harus responsif PD-L1 di tumor. Setelahnya baru pembrolizumab diberikan dengan cara diinfus selama 30 menit dalam jangka waktu per 21 hari.
“Di Amerika, jika ekspresi PD-L1 banyak, melebihi 50 persen, maka boleh dijadikan langkah terapi pertama. Di Indonesia, kita boleh gunakan untuk yang telah gagal melakukan pengobatan lini pertama,” jelas Sita.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa efek samping dari imunoterapi melalui obat pembrolizumab yang paling umum mencakup berkurangnya nafsu makan, kelelahan, mual, dan ruam kulit. Meski memiliki efek samping yang hampir sama dengan kemoterapi, tapi percobaan klinis menunjukkan pembrolizumab memiliki efek samping pengobatan yang lebih rendah ketimbang kemoterapi.
Pemberian pembrolizumab dapat memperpanjang kualitas hidup pasien kanker paru 2-4 bulan dibandingkan dengan kemoterapi. Jika dengan kemoterapi pasien bisa bertahan 6-9 bulan lamanya, maka dengan imunorterapi pasien bisa bertahan 10-12 bulan.
Adanya metode baru untuk meningkatkan harapan hidup para penderita kanker paru bukan berarti ancaman kanker baru sudah berlalu. Bagi mereka yang masih aktif merokok, sudah sepatutnya berpikir ulang agar tak menambah daftar pasien kanker paru.
Post A Comment: