Dirut Allianz Dijadikan Tersangka karena Tolak Klaim Rp 16 Juta
Jakarta - Direktur Utama PT Asuransi Allianz Life Indonesia Joachim Wessling dan Manajer Klaim PT Allianz Yuliana Firmansyah ditetapkan sebagai tersangka terkait UU Perlindungan Konsumen. Petinggi Allianz itu ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menolak mencairkan asuransi cash claim nasabah Ifranius Al Gadri sebesar Rp 16 juta (sebelumnya ditulis Rp 19 juta).
Pengacara pelapor, Alvin Lim, mengatakan kliennya awalnya ditawari oleh agen Allianz untuk membuka asuransi di Allianz. Korban adalah seorang pengusaha ponsel yang memiliki omzet miliaran rupiah per tahun.
"Klien saya ditawari asuransi, dipaksa-paksa, akhirnya mau dia. Kemudian dia beli dua polis, satu yang preminya Rp 600 ribu, kemudian satu lagi preminya Rp 2 jutaan. Itu asuransi kesehatan dua-duanya," jelas Alvin kepada detikcom, Rabu (27/9/2017).
Pengacara pelapor, Alvin Lim, mengatakan kliennya awalnya ditawari oleh agen Allianz untuk membuka asuransi di Allianz. Korban adalah seorang pengusaha ponsel yang memiliki omzet miliaran rupiah per tahun.
"Klien saya ditawari asuransi, dipaksa-paksa, akhirnya mau dia. Kemudian dia beli dua polis, satu yang preminya Rp 600 ribu, kemudian satu lagi preminya Rp 2 jutaan. Itu asuransi kesehatan dua-duanya," jelas Alvin kepada detikcom, Rabu (27/9/2017).
Di kemudian hari, korban kemudian menutup polis yang preminya Rp 2 juta. Selanjutnya korban hanya menggunakan asuransi yang preminya Rp 600 ribu per bulan.
Suatu saat, korban jatuh sakit. Pada mulanya, klaim asuransi berjalan lancar. Hingga kemudian pada 2016, korban jatuh sakit sehingga harus dirawat inap. Korban dua kali menjalani rawat inap di dua rumah sakit berbeda.
"Terus sakit kedua keracunan makanan, masuk rumah sakir. Klaim kedua ini tidak dibayarkan. Allianz minta surat klarifikasi dan itu harus dipenuhi selama dua minggu persyaratan itu. Padahal itu tidak tertulis di buku polis itu," jelasnya.
Menurut Alvin, Allianz sudah mempunyai unsur penipuan karena mempersyaratkan rekam medis kepada nasabah yang mau mencairkan cash claim. Padahal sudah jelas-jelas rekam medis itu sifatnya rahasia dan tidak bisa sembarangan dikeluarkan.
"Salah satu persyaratannya buku rekam medis, buku dokter yang tebal, yang menerangkan detail misalnya sehari korban BAB berapa kali. Itu kan tidak bisa dikeluarkan, kecuali atas perintah pengadilan atau pihak kepolisian," paparnya.
Menurut Alvin lagi, persyaratan rekam medis ini dijadikan modus oleh Allianz agar bisa menolak pencairan klaim asuransi para nasabah.
"Modus ini dijalankan dua tahun lalu. Kalau ada kasus seperti ini, dia cairkan setengahnya, kemudian nasabah dipaksa tutup polis," sambungnya.
Dikatakan, pelapor juga sudah melakukan somasi kepada pihak Allianz selama mengurus pencairan asuransinya itu. Tapi pihak Allianz tidak punya iktikad baik untuk menyelesaikan masalah tersebut.
"Saat kami datang, malah manajernya nantang, 'Kalau mau lapor polisi, lapor saja.' Malah klien saya (pelapor) dimaki-maki, 'Kamu bisa baca tidak? Kan di situ sudah tertulis.' Dia tidak memberikan solusi, pokoknya tetap meminta rekam medis, padahal itu salah satu syarat yang tidak mungkin bisa dipenuhi," jelasnya.
Atas hal ini, korban merasa dirugikan. "Jadi itu kan cash claim, jadi satu hari dirawat (ditanggung asuransi) Rp 1,5 juta. Totalnya dirawat 11 hari, dua kali rawat itu Rp 16 juta," tuturnya. (FAY)
Suatu saat, korban jatuh sakit. Pada mulanya, klaim asuransi berjalan lancar. Hingga kemudian pada 2016, korban jatuh sakit sehingga harus dirawat inap. Korban dua kali menjalani rawat inap di dua rumah sakit berbeda.
"Terus sakit kedua keracunan makanan, masuk rumah sakir. Klaim kedua ini tidak dibayarkan. Allianz minta surat klarifikasi dan itu harus dipenuhi selama dua minggu persyaratan itu. Padahal itu tidak tertulis di buku polis itu," jelasnya.
Menurut Alvin, Allianz sudah mempunyai unsur penipuan karena mempersyaratkan rekam medis kepada nasabah yang mau mencairkan cash claim. Padahal sudah jelas-jelas rekam medis itu sifatnya rahasia dan tidak bisa sembarangan dikeluarkan.
"Salah satu persyaratannya buku rekam medis, buku dokter yang tebal, yang menerangkan detail misalnya sehari korban BAB berapa kali. Itu kan tidak bisa dikeluarkan, kecuali atas perintah pengadilan atau pihak kepolisian," paparnya.
Menurut Alvin lagi, persyaratan rekam medis ini dijadikan modus oleh Allianz agar bisa menolak pencairan klaim asuransi para nasabah.
"Modus ini dijalankan dua tahun lalu. Kalau ada kasus seperti ini, dia cairkan setengahnya, kemudian nasabah dipaksa tutup polis," sambungnya.
Dikatakan, pelapor juga sudah melakukan somasi kepada pihak Allianz selama mengurus pencairan asuransinya itu. Tapi pihak Allianz tidak punya iktikad baik untuk menyelesaikan masalah tersebut.
"Saat kami datang, malah manajernya nantang, 'Kalau mau lapor polisi, lapor saja.' Malah klien saya (pelapor) dimaki-maki, 'Kamu bisa baca tidak? Kan di situ sudah tertulis.' Dia tidak memberikan solusi, pokoknya tetap meminta rekam medis, padahal itu salah satu syarat yang tidak mungkin bisa dipenuhi," jelasnya.
Atas hal ini, korban merasa dirugikan. "Jadi itu kan cash claim, jadi satu hari dirawat (ditanggung asuransi) Rp 1,5 juta. Totalnya dirawat 11 hari, dua kali rawat itu Rp 16 juta," tuturnya. (FAY)
Post A Comment:
0 comments: