Kisruh Freeport, Luhut: Tunggu Saja, Presiden Sudah Siapkan Opsi
BERITA HOT168- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Presiden RI Jokowi telah menyiapkan opsi penyelesaian kisruh perubahan status kontrak PT Freeport Indonesia.
Kendati tidak menjelaskan secara gamblang, Luhut mengaku opsi tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu mengenai sikap yang akan diambil.
"Ya, kita tunggu saja sebentar (soal 'win win solution')," katanya yang ditemui di Kemenko Kemaritiman Jakarta, Sabtu (25/2/2017).
Menurut mantan Menko Polhukam itu, sikap pemerintah jelas, terutama terkait dengan divestasi saham 51%.
"Masa bangsa Indonesia sudah 50 tahun enggak boleh minta saham 51%. Akan tetapi, kita bikin tenanglah, baik-baiklah, kita tunggu saja sambil jalan. Presiden saya kira sudah menentukan sikap," katanya.
Terkait dengan permintaan Freeport agar ketentuan pajak bisa diberlakukan "naildown" atau tetap seperti halnya diatur dalam Kontrak Karya (KK), bukan berubah-ubah (prevailing) sebagaimana diatur dalam izin usaha pertambangan khusus (IUPK), Luhut mengatakan hal itu seharusnya tidak jadi masalah bagi Freeport.
Pasalnya, dia menilai kecenderungan besaran pajak makin lama justru makin menurun. "Pajak itu 'kan menurun, ya, cenderungnya. Jadi, saya kira enggak ada masalah," katanya.
Luhut mengaku pemerintah juga tengah mempertimbangkan keringanan bagi perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
Hal itu penting lantaran pemerintah tetap ingin investasi asing bisa masuk dan tidak dipersulit. Namun, Luhut menekankan Freeport juga harus mematuhi aturan yang berlaku di Tanah Air.
"Ya, mana yang paling baik. Kita tetap ingin investasi asing tetap datang kepada kita dan sampai sekarang 'kan cukup bagus. Smelter 'kan bagus. Jadi, kita juga tidak mau mempersulit orang investasi di Indonesia. Akan tetapi, biar bagaimanapun mereka harus mematuhi peraturan kita," tegas Luhut.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (izin usaha pertambangan) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun "smelter" dalam jangka waktu 5 tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51%.
Pemerintah menyodorkan perubahan status PT FI dari sebelumnya kontrak karya (KK) menjadi IUPK agar bisa tetap melanjutkan operasi di Indonesia.
Sementara itu, Freeport bersikeras tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam KK 1991.
Lantaran tidak ingin beralih status menjadi IUPK dan bersikukuh mempertahankan status KK, Freeport hingga saat ini menghentikan aktivitas produksi sehingga menyebabkan relatif banyak karyawan yang dirumahkan dan diberhentikan.
GUGAT PEMERINTAH
Sebelumnya, President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Adkerson mengaku akan menggugat pemerintah Indonesia jika belum juga mendapatkan keputusan negosiasi kontrak yang saat ini masih dalam perdebatan.
Richard dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/2/2017), mengatakan, pada Jumat (17/2/2017) PT Freeport Indonesia telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan mengenai tindakan wanprestasi dan pelanggaran Kontrak Karya oleh pemerintah.
Menurut dia, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri Kontrak Karya (KK) yang ditandatangi pada 1991. Dia juga menilai, KK tersebut tidak dapat diubah sepihak oleh pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Oleh karena itu, melalui surat tersebut, diharapkan bisa didapat solusi atas kontrak perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
"Dalam surat itu ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase," katanya.
Richard menuturkan, saat ini pihaknya masih terus berunding dengan pemerintah mengenai kepastian kontrak. Hal itu dibutuhkan lantaran Freeport membutuhkan kepastian hukum dan fiskal dalam berinvestasi di Indonesia.
PENERIMAAN NEGARA
Penghentian operasi dan ancaman arbitrase oleh PT Freeport Indonesia, Kementerian Keuangan menilai dampaknya terhadap penerimaan negara belum ada dalam waktu dekat.
Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani memperkirakan dampaknya akan terasa pada masa yang akan datang jika Freeport tidak melakukan ekspor dalam beberapa bulan ke depan karena kasus ini.
Kendati tidak menjelaskan secara gamblang, Luhut mengaku opsi tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu mengenai sikap yang akan diambil.
"Ya, kita tunggu saja sebentar (soal 'win win solution')," katanya yang ditemui di Kemenko Kemaritiman Jakarta, Sabtu (25/2/2017).
Menurut mantan Menko Polhukam itu, sikap pemerintah jelas, terutama terkait dengan divestasi saham 51%.
"Masa bangsa Indonesia sudah 50 tahun enggak boleh minta saham 51%. Akan tetapi, kita bikin tenanglah, baik-baiklah, kita tunggu saja sambil jalan. Presiden saya kira sudah menentukan sikap," katanya.
Terkait dengan permintaan Freeport agar ketentuan pajak bisa diberlakukan "naildown" atau tetap seperti halnya diatur dalam Kontrak Karya (KK), bukan berubah-ubah (prevailing) sebagaimana diatur dalam izin usaha pertambangan khusus (IUPK), Luhut mengatakan hal itu seharusnya tidak jadi masalah bagi Freeport.
Pasalnya, dia menilai kecenderungan besaran pajak makin lama justru makin menurun. "Pajak itu 'kan menurun, ya, cenderungnya. Jadi, saya kira enggak ada masalah," katanya.
Luhut mengaku pemerintah juga tengah mempertimbangkan keringanan bagi perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
Hal itu penting lantaran pemerintah tetap ingin investasi asing bisa masuk dan tidak dipersulit. Namun, Luhut menekankan Freeport juga harus mematuhi aturan yang berlaku di Tanah Air.
"Ya, mana yang paling baik. Kita tetap ingin investasi asing tetap datang kepada kita dan sampai sekarang 'kan cukup bagus. Smelter 'kan bagus. Jadi, kita juga tidak mau mempersulit orang investasi di Indonesia. Akan tetapi, biar bagaimanapun mereka harus mematuhi peraturan kita," tegas Luhut.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (izin usaha pertambangan) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun "smelter" dalam jangka waktu 5 tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51%.
Pemerintah menyodorkan perubahan status PT FI dari sebelumnya kontrak karya (KK) menjadi IUPK agar bisa tetap melanjutkan operasi di Indonesia.
Sementara itu, Freeport bersikeras tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam KK 1991.
Lantaran tidak ingin beralih status menjadi IUPK dan bersikukuh mempertahankan status KK, Freeport hingga saat ini menghentikan aktivitas produksi sehingga menyebabkan relatif banyak karyawan yang dirumahkan dan diberhentikan.
GUGAT PEMERINTAH
Sebelumnya, President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Adkerson mengaku akan menggugat pemerintah Indonesia jika belum juga mendapatkan keputusan negosiasi kontrak yang saat ini masih dalam perdebatan.
Richard dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/2/2017), mengatakan, pada Jumat (17/2/2017) PT Freeport Indonesia telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan mengenai tindakan wanprestasi dan pelanggaran Kontrak Karya oleh pemerintah.
Menurut dia, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri Kontrak Karya (KK) yang ditandatangi pada 1991. Dia juga menilai, KK tersebut tidak dapat diubah sepihak oleh pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Oleh karena itu, melalui surat tersebut, diharapkan bisa didapat solusi atas kontrak perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
"Dalam surat itu ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase," katanya.
Richard menuturkan, saat ini pihaknya masih terus berunding dengan pemerintah mengenai kepastian kontrak. Hal itu dibutuhkan lantaran Freeport membutuhkan kepastian hukum dan fiskal dalam berinvestasi di Indonesia.
PENERIMAAN NEGARA
Penghentian operasi dan ancaman arbitrase oleh PT Freeport Indonesia, Kementerian Keuangan menilai dampaknya terhadap penerimaan negara belum ada dalam waktu dekat.
Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani memperkirakan dampaknya akan terasa pada masa yang akan datang jika Freeport tidak melakukan ekspor dalam beberapa bulan ke depan karena kasus ini.
Post A Comment: