Medan Kota "Maritim"
BERITA HOT168-Penyakit yang tak kunjung sembuh dalam tata kota di negeri ini adalah banjir. Jadi, tak salah kalau saya menyebutnya sebagai kota “maritim”, yaitu kota “lautan”. Perhatikanlah setiap hujan, banjir akan selalu menjadi keluhan. Selalu begitu.
Kenyataan inilah yang meyakinkan saya bahwa pemerintah tak banyak berbuat untuk mengatasi banjir. Paling tidak, mereka hanya meminta tolong pada masyarakat melalui berbagai imbauan. Dibuatlah kata-kata imperatif: mari rawat sungai kita, buanglah sampah pada tempatnya, dan sebagainya, dan sebagainya.
Ya, barangkali bagi siapa pun, imbauan ini adalah sesuatu yang normal. Normal sekali mendidik masyarakat dengan kata-kata demikian bukan? Bahasa populernya disebut: ini sangat edukatif. Tetapi, setelah lama berpikir-pikir, terutama karena banjir menjadi sebuah kemestian ketika hujan datang, saya malah berpraduga yang tidak-tidak. Praduga itu begini: pemerintah telah melemparkan tanggung jawab, bahkan kewajibannya kepada masyarakat.
Antara Prestasi dan Kewajiban
Sungguh sebuah perbuatan yang tak masuk akal jika berlebihan disebut sebagai yang tak etis. Tak etisnya demikian: masuk akalkah “memaksa” masyarakat untuk sibuk bertindak agar banjir tak menjelang, sementara pemerintah yang sudah digaji untuk itu melulu berpangku tangan, berperang wacana, berjanji, dan melulu taunya hanya berjanji? Sudahlah, masyarakat punya beban dengan perutnya! Benar, tak salah jika kemudian masyarakat mendengar yang lalu menindaklanjuti imbauan itu. Hal itu justru menjadi indikasi awal bahwa masyarakat sudah semakin sadar.
Tetapi, kalau imbauan itu semata dibebankan kepada pundak masyarakat, apa dan di mana letak keistimewaan pemerintah? Untuk apa mereka dipilih? Jujur saja, entahlah jalan pemikiran saya yang terlalu gila, tetapi saya justru memandang keberhasilan pemerintah (andai memang berhasil) membangun akses semisal mengatasi banjir bukan prestasi. Itu kewajiban. Ada jarak yang lebar antara prestasi dan kewajiban. Prestasi adalah sebuah penghargaan atas apa yang telah dilakukan melebihi tanggung jawab, sementara kewajiban adalah melakukan sesuai dengan yang digariskan.
Artinya, jika pemerintah melakukan yang telah digariskan, sama sekali itu bukan prestasi. Maka itulah, tak perlu kiranya ada Piala Adipura ini dan itu. Ini justru memanjakan. Mental dan tanggung jawab pemerintah akhirnya didangkalkan. Pendangkalan itu begini: jika dapat piala, berarti mereka sudah melakukan hal lebih, tetapi jika tak dapat, itu artinya mereka sudah melakukan tugas yang digariskan dengan pas-pasan.
Atau supaya lebih masuk akal, mari kita analogikan diri kita sebagai kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga, apakah kita harus dihadiahi kalau menjalankan tugas dengan pas-pasan? Apakah kita harus diberi gelar kehormatan ketika berhasil membiayai keluarga? Itu bukan prestasi. Itu kewajiban!
Saya mengutarakan ini bukan karena tak mau pemerintah mendapat penghargaan. Justru, ini dibuat sebagai penegasan agar pemerintah diberi penghargaan, tetapi tentu saja itu akan diberikan kalau kinerjanya jelas dan bukan pas-pasan. Maksud saya, agar pemerintah tersadarkan bahwa apa yang telah mereka lakukan masih jauh dari batas kewajaran. Jadi, tak usah merasa pahlawan ketika berhasil mengatasi banjir. Itu tugas mereka.
Pengertian itu sama dengan hal ini: merasa terkutuk dan bersalahlah jika kemudian setelah bertahun-tahun, kinerjanya tak jelas. Merasa terkutuk dan bersalahnya bukan semata karena tak berhasil melaksanakan tugas, tetapi karena dengan melalaikan tugas itu, berjuta-juta masyarakat akhirnya hidupnya terlunta-lunta. Bahkan, kalau dipikir-pikir, kejahatan ini pun bisa disamakan dengan pembunuhan. Lebih kejam lagi dari pembunuhan karena pemerintah kemudian kedapatan secara buram memperbudak masyarakat dengan mengalihkan tanggung jawabnya melalui berbagai imbauan atas nama edukasi.
Belum lagi kalau kita lihat apakah edukasi itu benar atau tidak, pantas atau tidak. Masalah kepantasan, apakah orang tak bertanggung jawab pantas memberi edukasi? Bukankah pendidikan lebih ditekankan pada aspek keteladanan ketimbang kata-kata? Lalu, teladan apa yang kita terima dari pemerintah, kecuali hanya suka melemparkan tanggung jawab melalui kata-kata?
Oh, kecurigaan saya semakin menemukan momennya di sini, yaitu bebalnya masyarakat, semisal, tak mau membuang sampah dengan baik hanyalah efek lanjutan dari bebalnya pemerintah yang lari dari tanggung jawab. Bukankah jika guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari?
Ya, saya harus mengakui bahwa saya kesal dengan kebobrokan perwajahan Kota Medan. Hujan hanya sebentar, tetapi banjir bisa berhari-hari. Lihatlah, bagaimana samarak Imlek seakan luntur karena saat itu, banjir menghadang. Tak terhitung berapa kerugian. Tak terhitung berapa penderitaan. Tak terhitung berapa kemarahan. Tak terhitung berapa kecamuk. Kebahagiaan direnggut. Bahkan, untuk banjir teranyar, pada Hari Besar Imlek 8 Februari 2016 kemarin, harian ini mengangkat banjir sebagai berita besarnya, termasuk seorang korban tewas.
Karena Ketidakmampuan
Lagi-lagi, mungkin kalian pikir saya berlogika dekil, bahwa kematian seorang ini bukan karena bencana, melainkan karena pembencanaan dan pembunuhan. Siapa yang membunuh? Jawablah dalam hati kita masing-masing. Mudah-mudah tidak menyebalkan! Di sisi lain, saya juga mendapati diri saya sebagai yang samar membaca. Samar itu ketika di beberapa status di media sosial, masyarakat mulai merayakan banjir dengan senang hati. Banjir menjadi seakan siklus, bukan sebagai bencana. Pola pikir apa ini? Apakah ini artinya masyarakat sudah terampil untuk mensyukuri bahwa banjir hanya bagian dari cobaan?
Ternyata tidak! Ada sisi lain yang mengerikan, yaitu rakyat kemudian semakin terbiasa dengan banjir, dengan bencana, dengan kekurangajaran, dengan ketidaksenonohan. Saya mencoba untuk tak terlalu emosional atas ini, tetapi bagaimana saya harus mengekspresikannya? Apakah saya harus membiasakan diri dengan bencana, membiasakan diri dengan keteledoran pemerintah, membiasakan diri untuk memaafkan, membiasakan diri untuk bersyukur? Boleh saja! Tetapi, apa itu tak menghambat pembangunan kita?
Baiklah, baiklah, baiklah! Saya menuliskan ini hanya sebagian kecil dari luapan emosi. Emosi karena saya tak mau kita menjadi keledai yang tak bosan-bosan jatuh pada lubang yang sama berkali-kali dan berkali-kali. Itu artinya emosi ini merupakan emosi yang membangun. Saya jujur saja tak bisa membayangkan bahwa ke depan, karena sudah terbiasa, akhirnya rakyat tak lagi mampu membedakan mana bencana dan mana berkah.
Maka itu, agar tak terjadi lagi, kiranya pemerintah sudah harus memulainya dari hal kecil yang selalu menjadi rutinitas, terutama banjir. Jangan ke depan jadi ada pembelokan logika pada anak-anak kita bahwa begitulah, setiap hujan pasti akan mendatangkan banjir. Hujan bukan untuk melahirkan banjir. Hujan itu berkah, sebagai bagian dari netralisasi udara yang terkontaminasi. Artinya, banjir bukan karena hujan, melainkan karena ketidakmampuan kita mengelolanya dengan baik!
Post A Comment: